Menjadi Gereja Pembawa Damai Soal Mengampuni, Merangkul dan Merapuh
Pengantar
Ijinkan saya membagikan sedikit dari pergumulan PGI yang saya yakin merupakan pergumulan dari gereja-gereja anggotanya termasuk GKPB. Beberapa bulan terakhir saya diminta ikut dalam Tim perumus Pengakuan Iman Bersama (PBIK). Dalam proses, Tim ini bertemu dengan Tim Pokok-pokok Panggilan Tugas Bersama (PPTB) dan tim lainnya yang ditugaskan untuk merevisi Dokumen Keesaan Gereja (DKG). Dalam PPTB terdapat hal yang saya pikir relevan dengan tema "Menjadi Gereja Pembawa Damai". Tersebut di sana tentang konteks sosio-ekologis gereja-gereja di Indonesia yang sedang mengalami polycrises: krisis kebangsaan, krisis ekologi, krisis keluarga, krisis pendidikan (termasuk pendidikan teologi), dan efek disrupsi yang diakibatkan oleh perkembangan teknologi 2 masa kini serta revolusi digital (AI). Rentetan krisis tersebut bisa diperjelas dengan beberapa contoh akhir-akhir ini seperti tawaran hak pengelolaan tambang kepada ormasormas keagamaan, lalu perubahan cukup mendadak atas undang-undang tentang Pemilu dan Pilkada yang dengan jelas memperlihatkan krisis politik di negeri ini. Sementara untuk krisis yang berkaitan dengan dunia internet tidak perlu susah-susah dicari contohnya, cukup disebut soal judi online, prostitusi online, penyalahgunaan data identitas digital, pemerasan dengan menggunakan data palsu dan video porno. Mungkin daftarnya masih bisa diperpanjang lagi jika melihat dinamika setempat. Maka harus diakui kalau panggilan tugas gereja memang berat. Belum lagi dalam menjalankannya tidak selalu ada kesehatian. Perselisihan, bahkan perpecahan terjadi di dalam tubuh gereja. Gerakan oikumene seperti kehilangan roh. Jangankan hubungan antar gereja, hubungan di dalam satu gereja (sinode) pun tidak selalu baik-baik saja. Tema "Menjadi Gereja Pembawa Damai" yang telah dipilih GKPB untuk mengarahkan perjalanan pelayanannya di periode 2024-2028 terasa sesuai dengan konteks polycrises tersebut sekaligus memberikan pengharapan bahwa gereja masih dapat berbuat sesuatu.
Untuk meramaikan wacana seputar tema "damai" saya ingin menyampaikan beberapa pokok pikiran. Tetapi sebelumnya saya perlu mengaku (disclaimer) bahwa saya bukan ahli di bidang studi perdamaian. Soal ini sudah saya sampaikan sebelumnya, tetapi saya tetap diminta untuk berbicara. Maka, jika nanti ada yang kurang dalam pemahaman saya tentang ilmu perdamaian silakan ditambah sendiri saja. Saya juga tidak tahu apakah materi yang akan saya sampaikan sudah sesuai dengan harapan GKPB. Maklum, saya kurang "main di halaman" GKPB. Tetapi terima kasih pada MSH GKPB yang berkenan mengundang saya berbicara saat ini dengan segala kekurangan saya tersebut.
Dalam presentasi ini saya akan menelusuri dua kisah dalam Alkitab dalam Perjanjian Pertama dan Baru yaitu kisah ular, Hawa, Adam dan Tuhan di Kejadian 3 dan kisah Yesus dengan perempuan Samaria di Yohanes 4. Dengan menelusuri kedua kisah tersebut saya akan merefleksikan bagaimana pengampunan terjadi lewat kekuatan untuk merangkul yang berdampak pada kerapuhan.
Mempertemukan Kejadian 3 dan Yohanes 4
Kisah dalam kedua kitab tersebut memang berdiri sendiri-sendiri serta memiliki latar belakang yang berbeda. Tetapi menarik juga untuk melihatnya dalam sebuah hubungan tematik. Terdapat beberapa tema bersama yang muncul dalam kedua kisah tersebut seperti "pengetahuan," "kesadaran diri," "dialog," "pengakuan," "perubahan," "makanminum," "arti simbolik dari lokasi," di samping yang berkaitan dengan perdamaian yaitu "pengampunan," "perangkulan," "kerapuhan," "kekuasaan," dan "keadilan". Lumayan banyak. Saya mencoba membahasnya dengan ringkas.
Makan-minum
Pertama, hal yang saya sukai dahulu: "makan-minum." Sudah langsung jelas kalau kisah di Kejadian 3 (selanjutnya disingkat K) adalah soal makan, makan buah terlarang (Bhs. Jawa, larang=mahal). Di Yohanes 4 (selanjutnya disingkat Y) soalnya minum, minum air sumur Yakub (drinkable). Makan dan minum itu menjadi awal dari narasi. Di K, akibat makan Adam dan Hawa menjadi tahu kalau mereka telanjang. Di Y, dari minum air sumur persoalan berkembang ke air hidup, air yang terus memancar. Seolah-olah ada eskalasi, 3 dari soal sepele menjadi penting. Tetapi, jangan lupa, yang sepele itu juga penting. Kedua narasi melibatkan Tuhan. Tetapi Tuhan tidak baru muncul sesudah yang sepele: makan buah dan minum air sumur. Tuhan sudah muncul dan terlibat sejak yang sepele. Di Y itu jelas karena Yesus yang lebih dahulu minta minum ke perempuan Samaria. Di K, Tuhan yang pertama-tama membuat aturan main soal mana yang boleh dan tidak boleh untuk dimakan. Jadi kedua narasi itu menggambarkan keterlibatan Tuhan secara intensif dalam soal yang kelihatannya sepele, hanya makan-minum biasa. Atau, lebih baik jika kita tidak memisahkan yang sepele dan penting. Dualisme seperti itu tidak kena, minimal buat kedua narasi Alkitab ini. Jika dikaitkan dengan soal perdamaian, menjadi lebih jelas kalau soal makan dan minum punya arti yang besar. Karena makanan dan minuman orang bisa bertengkar, bangsa-bangsa berperang, dan mungkin dunia kiamat seperti yang dikhawatirkan bagaimana jadinya jika terjadi kelangkaan air minum di dunia. Soal makan dan minum adalah soal keadilan. Dunia masih bergelimang dengan ketidakadilan ketika sebagian kecil berkelimpahan dengan makanan dan minuman, sedangkan sebagian besar penduduk dunia justru kelaparan dan kehausan. Layak jika kedua narasi kita menempatkan makan dan minum pada soal kesadaran diri, kehidupan, dan keilahian.
Pengetahuan
Tema selanjutnya sesuai dengan profesi saya: "pengetahuan." Di K, buah yang dimakan Hawa dan Adam menghasilkan pengetahuan. Sejak awal, pohonnya sudah diberi nama "pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat" (Kej 2:17). Karena makan buah dari pohon itu, manusia (keduanya) tahu keadaan diri mereka yang sesungguhnya. Lebih baik atau buruk? Tidak ada penilaian di situ. Yang ada adalah komplikasi. Telanjang sudah terjadi sebelum keduanya makan buah terlarang, tetapi baru diketahui setelah makan buah itu. Jangan buru-buru berpikir itu porno. Belum ada soal itu dan kalaupun ada, siapa juga yang melihat? Entah apa yang ada di pikiran Hawa dan Adam ketika baru tahu ketelanjangan mereka. Meski tidak ada yang melihat, mereka buru-buru membuat cawat dari daun-daunan. Pohonnya spesifik disebut: ara. Siapa yang tahu, apakah daun pohon ara nyaman untuk dipakai sebagai cawat? Perlu dicoba dulu. Hawa dan Adam mestinya juga coba-coba dahulu. Pohonnya banyak, bukan ara saja. Entah apakah mereka juga coba daun pohon buah terlarang itu? Yang jelas pilihannya jatuh ke daun pohon ara. Dari tahu soal telanjang, mereka tahu soal fashion, eh, pakaian. Baru pakaian, belum fashion. Nanti Tuhan yang lebih tahu soal fashion, Ia mengganti cawat daun tadi dengan jubah (TB-2) kulit (TB-1: kulit binatang). Keren. Tapi kalau sekarang bisa dipermasalahkan oleh pecinta binatang.
Di Y, pengetahuannya adalah tentang siapa Yesus. Perempuan Samaria itu tahu bahwa Yesus mampu mengetahui rahasia dirinya. Orang Sikhar (Samaria) lainnya percaya bahwa Yesus adalah Juruselamat dunia. Untuk sampai pada pengetahuan itu, mereka perlu melampaui apa yang kelihatan. Begitulah cara Injil Yohanes memperkenalkan Yesus. Keberadaan Yesus yang sesungguhnya adalah yang berada di balik atau yang melebihi penampilan fisiknya. Tetapi soal menjadi percaya bukanlah soal usaha manusia. Percaya adalah soal kehendak Allah. Maka jika perempuan Samaria dan orang-orang sekotanya menjadi percaya, itu adalah karena Allah. Meskipun demikian masih menjadi soal apakah yang dipilih untuk menjadi percaya itu otomatis dapat mengetahui siapa Yesus yang sesungguhnya. Para murid yang dekat dengan Yesus sepertinya tidak sungguh-sungguh tahu siapa Yesus sesungguhnya. Narasi-narasi dalam Injil Yohanes banyak 4 menggambarkan kekeliruan para murid dan orang-orang percaya. Berarti pengetahuan mereka sekalipun sudah ada, masih belum cukup. Di K, penggantian pakaian oleh Tuhan itu tadi juga menggambarkan bahwa pengetahuan yang telah diperoleh manusia masih belum cukup
Kesadaran diri
Soal pengetahuan itu langsung terkait dengan "kesadaran diri". Tahu itu berarti sadar dan sadar itu berarti tahu. Sadar yang dimaksud adalah sadar diri. Tetapi sebenarnya sadar itu sendiri sudah termasuk sadar diri. Sadar itu terjadi ketika seseorang dapat melihat dirinya sendiri. Maka sadar berarti sadar diri. Tetapi pada saat yang sama juga sadar akan lainnya yang menyekitari dirinya. Jadi sadar sifatnya inklusif. Hanya, tidak segala sesuatu langsung ada di situ, di dalam kesadaran. Kesadaran sebagus apapun pasti terbatas. Kesadaran itu seperti wadah yang di dalamya berisi sesuatu. Di luarnya masih ada sesuatu yang lain, namun tidak diketahui, tidak disadari. Jadi tahu atau sadar berarti mengetahui atau menyadari apa yang ada di dalam pikiran. Maka, sekalipun Hawa dan Adam tahu dan sadar, yang diketahui, ya, sebatas yang ada dalam pikirannya. Demikian juga dengan perempuan Samaria dan orang-orang sekotanya yang percaya kepada Yesus. Tetapi, sekalipun yang mereka ketahui terbatas, itu sudah luar biasa. Apalagi dari kedua kisah tersebut, pengetahuan mereka datangnya dari Tuhan.
Pengetahuan yang didapat itu adalah juga tentang Tuhan, berarti teologi. Psikologi (kesadaran diri) tidak terpisah dari teologi (tentang ke-Tuhan-an). Maka, pengetahuan yang diberikan oleh Tuhan kepada Hawa dan Adam serta perempuan Samaria dan kawankawannya itu tidak sekadar menyangkut diri mereka, tetapi lebih daripada itu yaitu tentang Tuhan dan Tuhan adalah segala sesuatu di dalam keutuhannya. Itulah yang disebut dengan hidup yang kekal, air yang terus menerus memancar, roti yang tidak pernah habis dimakan, dan kehidupan yang saling terhubung (oikumene). Berarti sosiologi, ekologi, dan apa saja, pendeknya semesta. Dalam kaitan dengan perdamaian, sebagaimana dianjurkan oleh para ahli, perdamaian hendaknya bersifat transformatif menuju pada pengakuan, penghargaan dan penghormatan terhadap segala sesuatu yang ada di alam raya, baik manusia maupun makhluk lainnya dan bahkan realitas yang tertinggi (Tuhan).
Pengakuan
Dari sana kita masuk ke tema selanjutnya yaitu "pengakuan." Para teolog senang sekali mengatakan bahwa kisah K itu adalah tentang konsekuensi dari kebebasan yang diberikan kepada manusia untuk memilih. Karena diberi kebebasan maka ada pertanggung-jawaban. Hawa dan Adam bebas memilih makan buah terlarang atau tidak. Mereka memilih makan, maka mereka harus bertanggungjawab atas pilihan itu dan menanggung konsekuensinya. Tetapi kisah K tidak dibangun dengan pemahaman filsafati seperti itu. Belum ada konsep-konsep seperti kehendak bebas yang baru di zaman Pencerahan dikembangkan seperti yang kita mengerti sekarang. Di masa para Bapa Gereja pun, kehendak bebas itu masih kurang lebih dimengerti sebagai kehendak yang bebas sehingga tidak dapat dikendalikan. Jadi bukan seperti orang yang bimbang memilih ini atau itu dan setelah pikir-pikir akhirnya menjatuhkan pilihannya. Yang ini berarti memilih dengan kesadaran. Di kisah K, tidak ada situasi ini atau itu yang terlihat ketika Hawa memetik buah terlarang itu, memakannya dan membagikannya kepada 5 Adam. Di ayat 6 disebutkan, "perempuan itu melihat (Ibr. tere, dari ra'ah) bahwa buah pohon itu baik untuk dimakan dan menarik untuk dipandang. Lagi pula, pohon itu diminati karena memberi pengertian. Lalu ia memetik buahnya dan memakannya. Ia memberikannya juga kepada suaminya yang bersamanya, dan suaminya pun memakannya." Daya tarik itu justru datang dari buah pohon itu, seperti halnya ketika kita melihat durian atau buah lain yang mengundang selera. Berarti objek yang dilihat itu yang menentukan. Penglihatan itu berarti bersifat objektif.
Meskipun demikian, Hawa dan Adam sudah melampaui batasan yang dibuat Tuhan. Akibatnya mereka takut bertemu dengan Tuhan dan bersembunyi. Tuhan memanggil mereka, terjadilah dialog yang cukup panjang. Dialog dengan manusia yang sudah melanggar perintahNya. Tampak bahwa pelanggaran tidak merintangi Tuhan untuk menjumpai manusia. Pertanyaan, "di manakah engkau?" mendorong manusia untuk memperlihatkan dirinya. Memperlihatkan diri berarti memastikan keberadaan. Manusia masih ada sekalipun sudah melanggar. Keberadaannya tidak diluluhkan oleh pelanggaran yang diperbuatnya. Justru pengakuan Tuhan terhadap keberadaan manusia itu membuat manusia berani menyatakan apa yang sebenarnya terjadi. Adam dan Hawa memberikan kesaksian tentang apa yang sesungguhnya terjadi. Kesannya saling melempar tanggung jawab, namun yang mereka katakan adalah kejadian yang sebenarnya. Adam memakan buah yang diberikan Hawa. Hawa memakan buah karena hasutan ular. Apakah dengan begitu mereka bebas? Jelas tidak, mereka tetap harus menanggung konsekuensi perbuatan mereka. Tiap perbuatan ada konsekuensinya. Adam, Hawa, bahkan ular harus menerima konsekuensi perbuatan mereka. Konsekuensinya berat, tetapi justru membuat mereka berharga. Harga diri seseorang tampak pada kesediaannya untuk menerima konsekuensi perbuatannya.
Pada kisah Y, pengakuan diberikan kepada perempuan Samaria, diikuti dengan orangorang Samaria yang lain. Samaria adalah warga kelas dua. Sedangkan perempuan, apapun kebangsaannya, berada di bawah bayang-bayang dominasi laki-laki. Jadi perempuan Samaria itu direndahkan karena kebangsaan dan gendernya. Tetapi sapaan Yesus membuatnya terangkat. Namanya memang tidak disebut. Wajar jika di mata para feminis, perlakuan terhadapnya masih dipandang kurang baik. Meskipun begitu, sudah lumayan kalau dia diajak berdialog oleh Yesus. Bahkan kepadanya Yesus meminta tolong. Perhatian Yesus terhadap masalah pribadinya membuat perempuan itu lebih terangkat lagi. Sama seperti Adam dan Hawa, perempuan Samaria itu tidak bebas dari permasalahan. Hidupnya tidak mulus-mulus saja. Pernikahannya jatuh bangun. Pandangan masyarakat terhadap perempuan seperti dia pasti negatif. Mungkin dia didiskriminasi. Tetapi di mata Yesus, dia berharga. Penghargaan itu membuat perempuan Samaria tersebut menerima dirinya apa adanya. Sejarah hidupnya yang kelam diterima sebagaimana adanya. Kesaksiannya membuat banyak orang tergugah. Bahwa mereka pun juga dihargai. Pengakuan kepada perempuan Samaria itu berlanjut menjadi pengakuan kepada banyak orang Samaria lainnya.
Pengakuan terhadap mereka yang tertindas, didiskriminasi, terabaikan secara sosial karena berbagai macam stigma dan penilaian merupakan jalan masuk kepada perdamaian. Tiada yang lebih membutuhkan perdamaian selain daripada mereka yang sehari-hari hidup dalam tekanan-tekanan sosial. Agama sering ikut menyumbang stigma 6 dengan pemberian label dosa. Label itu bukannya mendorong orang untuk menerima diri apa adanya termasuk sebagai yang lemah, namun justru semakin menenggelamkan orang dalam ketidak-berdayaan, jauh dari pengakuan seperti yang dilakukan Tuhan kepada Adam dan Hawa serta Yesus kepada perempuan Samaria dan orang-orang sekotanya.
Dialog
Pengakuan terhadap Adam, Hawa dan perempuan Samaria itu dipentaskan dalam sebuah dialog. Kedudukan yang lebih tinggi dari Tuhan terhadap Adam dan Hawa serta Yesus terhadap perempuan Samaria seakan mencair dalam dialog. Percakapan yang mendalam meleburkan batas-batas di antara mereka. Kisah di K memperjelas situasi itu dengan menggambarkan keadaan telanjang dari manusia di hadapan Tuhan. Semula keadaan tersebut hendak disembunyikan, namun akhirnya dibuka juga. Keterbukaan itu membuat Tuhan dapat menentukan tindak lanjut yang lebih tepat. Di kisah Y, dialog juga menghantar Yesus dan perempuan Samaria pada keadaan yang sebenarnya. Kebenaran terkuak lewat dialog yang intensif dan akrab. Sebuah pesan yang layak diperhitungkan bagi usaha bina damai. Tanpa dialog yang otentik, perdamaian tidak akan menghantar pada kebenaran dan karenanya menjadi semu belaka.
Tempat (alam)
Tema selanjutnya adalah soal tempat yang punya makna simbolik. Taman Eden dan sumur Yakub. Kedua tempat tersebut adalah sumber kehidupan. Taman (atau kebun karena itu tempat bekerja, bukan rekreasi) adalah tempat di mana tumbuhan, hewan dan manusia mendapatkan sumber makanan dan minuman. Sumur adalah sumber air yang mendatangkan kehidupan. Di situlah peristiwa dari kedua narasi itu terjadi. Berbagai hal baik yang didapatkan oleh Adam, Hawa dan perempuan Samaria itu dimungkinkan karena tempat itu. Maka, tidak hanya Tuhan yang mendatangkan kebaikan bagi manusia, alam (taman, sumur) pun juga turut mendatangkan kebaikan. Pengetahuan diperoleh manusia dari pohon. Sumur menjadi inspirasi bagi realitas yang lebih dari sekadar air yang tampak pada permukaan. Taman dan sumur itu juga menawarkan kehidupan kepada siapa saja, tanpa diskriminasi. Adam dan Hawa dapat menikmati dan dihidupi oleh taman Eden sesudah melakukan pelanggaran sama seperti sebelum mereka melakukan pelanggaran. Sumur Yakub tidak pernah menahan bualan airnya bagi perempuan Samaria yang kurang terhormat di mata masyarakat. Taman dan sumur itu melakukan apa yang dilakukan Tuhan.
Pengampunan-perangkulan
Sekarang kita masuk pada tema "pengampunan (forgiveness)" yang tidak dapat dilepaskan dari "perangkulan (embracing). Tema-tema ini sering kali muncul dalam diskursus perdamaian. Misalnya dalam gagasan Miroslav Volf (Exclusion and Embrace: A Theological Exploration of Identity, Otherness, and Reconciliation, 1996). Tentang pengampunan Volf berkata, "Forgiveness flounders because I exclude the enemy from the community of humans even as I exclude myself from the community of sinners." (p. 124). Bayangan umum tentang pengampunan tidak sama dengan yang dikatakan oleh Volf. Pengampunan ditujukan kepada mereka yang bersalah. Pada saat yang sama pemberi ampun menempatkan diri pada pihak yang benar. Tetapi dalam pandangan Volf, posisi seperti itu bukan merangkul melainkan mengecualikan (to exclude). 7 Pengecualiannya dua arah: saya mengecualikan orang yang bersalah itu dari kumpulan orang benar dan saya juga mengecualikan diri saya dari kumpulan orang bersalah. Pengampunan yang benar seharusnya merangkul, bukan mengecualikan. Kalau begitu maka orang yang mengampuni siap meleburkan diri dengan orang yang diampuni. Peleburan itu terjadi ketika yang mengampuni menerima yang diampuni sebagai sesama manusia. Kemanusiaan itulah yang diperhatikan, bukan salah dan benarnya. Kisah di K dan Y memperlihatkan sikap Tuhan yang merangkul. Manusia pelanggar dirangkul oleh Tuhan dengan cara dicari, disapa dan diajak berdialog. Meski tahu siapa perempuan Samaria itu, Yesus menjadikannya penolong untuk mendapatkan air minum dan mengajaknya menyelami relung-relung kehidupan yang terabaikan. Volf juga menarik pelajaran dari peristiwa penyaliban Yesus dengan mengatakan, "At the heart of the cross is Christ’s stance of not letting the enemy remain an enemy, but rather the creation of an open space in the self where the enemy can come in and be reconciled." (p. 125) Merangkul tidak saja mendatangi dan mengajak yang dirangkul, namun juga kesediaan untuk didatangi dan diajak oleh yang dirangkul. Rekonsiliasi adalah kesaling merangkulan.
Keadilan
Terhadap keraguan bahwa sikap seperti itu akan membiarkan ketidak-adilan terjadi tanpa konsekuensi, Volf mengatakan, "Forgiveness and justice are not mutually exclusive. Rather, forgiveness is a way of fighting for justice without mirroring the injustice suffered." (p. 294). Mereka yang menuntut keadilan atas ketidak-adilan sulit untuk mengampuni tanpa terlebih dahulu mendapatkan keadilan yang dituntut. Tetapi sikap seperti itu telah memisahkan keadilan dari pengampunan. Volf tidak begitu. Dia melihat pengampunan adalah bentuk perjuangan untuk mendapatkan keadilan. Kisah di K dan Y tadi dapat menjadi contoh bagaimana pengampunan mendatangkan keadilan. Lewat pengampunan Tuhan, Adam dan Hawa berani keluar dari persembunyiannya untuk menyatakan perbuatan mereka. Ketakutan karena rasa bersalah diganti dengan keberanian untuk mengakui kesalahan. Begitu juga dengan perempuan Samaria di masa yang jauh sesudah peristiwa taman Eden itu. Masa ketika masyarakat sudah mengenal sistem moral. Dengan moral itu, masyarakat memandang perempuan Samaria itu layaknya orang buangan. Ketika ditemui oleh Yesus, perempuan tersebut sudah kenyang dengan berbagai cibiran dan tuduhan tidak senonoh oleh masyarakat. Sama seperti cibiran dan pandangan negatif dari pembaca kisahnya di Injil Yohanes. Soal hukuman, perempuan itu sudah menerima bahkan lebih daripada yang selayaknya dia terima. Keadilan sudah lebih dari yang seharusnya dituntutkan kepadanya. Seperti yang disiratkan oleh Volf, keadilan yang dituntutkan kepadanya sudah berubah menjadi ketidak-adilan baginya. Pertemuannya dengan Yesus menyingkap penghakiman massa itu. Tetapi kali ini kesalahannya tidak mendatangkan cibiran. Yesus justru memberinya tawaran air hidup. Tawaran itu tidak diberikan setelah pengakuan dosanya, melainkan jauh sebelum pengungkapan kekelaman hidupnya. Yesus sudah mengampuni dia sejak pertama kali berjumpa. Tetapi pengampunan itu tidak meniadakan kenyataan bahwa dia sudah melakukan kesalahan. Sama seperti Adam dan Hawa, perempuan tersebut akhirnya berani keluar untuk mengakui kebenaran yaitu bahwa hidup pernikahannya tidak baik-baik saja.
Kisah Adam dan Hawa serta perempuan Samaria itu juga menarik untuk dibaca dalam terang latar historisnya. Kedua kisah tersebut disampaikan dalam konteks imperialisme. Kisah taman Eden punya konteks imperialisme Babel, sedangkan kisah di sumur Yakub itu berada di bawah bayang-bayang imperium Romawi. Kedua macam imperialisme itu menimbulkan banyak kesengsaraan rakyat. Bagi rakyat yang diperbudak oleh kekuasaan imperialis itulah kedua kisah tersebut hendak berpesan. Pesannya adalah bahwa mereka berharga. Mereka adalah manusia-manusia yang punya harkat dan martabat. Bukan berarti mereka bebas dari kesalahan, tetapi kesalahan itu tidak patut membuat mereka kehilangan harkat dan martabat. Tuhan dalam kisah Adam dan Hawa adalah Tuhan yang merawat manusia agar bangkit dari kehilangan harga dan kepercayaan diri. Perlakuan Yesus terhadap perempuan Samaria adalah perlakuan Tuhan terhadap orang-orang Yahudi yang sudah terlalu lama kehilangan harga diri di bawah penindasan penguasa Romawi. Dalam narasi Injil-injil, Samaria didiskreditkan oleh orang Yahudi. Tetapi dalam sejarah, nasib orang Yahudi tidak lebih baik daripada nasib orang Samaria. Mereka adalah korban penjajahan. Kepada mereka diberitakan bahwa Tuhan datang untuk mengampuni, merangkul dan mengajak mereka untuk bangkit. Keadilan dinyatakan kepada para korban ketidak-adilan. Dari kedua kisah tersebut kita menyaksikan jalinan masalah ketidak-adilan dan usaha untuk menghadirkan keadilan yang berlapis-lapis. Masalah keadilan memang kompleks, namun bukan tidak mungkin untuk dihadirkan.
Teologi proses
Pikiran Catherine Keller kiranya dapat melengkapi pikiran Volf. Keller melihat perdamaian adalah sebuah proses berkelanjutan. Tidak ada suatu titik puncak di mana perdamaian mencapai finalitasnya. Proses yang dimaksud oleh Keller adalah hubungan-hubungan dari semua penghuni semesta yang selalu bertransformasi menuju sesuatu yang lebih baik. Keller berkata, "Peace is not a static state but a dynamic process of ongoing creation, where we continually shape and reshape our relationships and our world." (On the Mystery: Discerning Divinity in Process, 2008, p. 101). Kita ingat bagaimana kisah di K dan Y merupakan bagian dari serentetan kisah lain yang secara keseluruhan membenarkan argumen Keller bahwa perdamaian adalah sebuah proses yang berkelanjutan. Boleh juga dikatakan bahwa kisah-kisah dalam Alkitab memperlihatkan bagaimana perdamaian terjadi dari satu peristiwa ke peristiwa lainnya. Sedangkan yang terlibat di dalamnya adalah segenap ciptaan dan Allah. Keterlibatan Allah tersebut mempunyai konsekuensi bahwa Allah tidak dapat melepaskan diri dari kejadian-kejadian di dunia termasuk tragedi. Maka, dalam kerapuhan dunia, Allah turut menjadi rapuh. Dalam kisah di K, Allah menjadi rapuh dengan membersamai Adam dan Hawa yang telah melanggar peraturanNya. Di Y, kerapuhan Yesus digambarkan lewat kebersamaannya dengan perempuan Samaria. Mengampuni, merangkul dan merapuh adalah tindakan yang saling berkait. Tetapi dengan bantuan Keller kita dapat melihatnya sebagai sebuah proses yang berkelanjutan. Kerapuhan bukan keadaan final, namun sebaliknya sebuah awal untuk memperbaiki keadaan. Kebaikan yang diharapkan adalah kebaikan bersama dari semua yang terlibat. Dalam teologi proses, semuanya terlibat. Kehidupan bagaikan sebuah jaring laba-laba yang luas jangkauannya, membentang ke segala ruang dan waktu. Yang ada sekarang dan di sini tidak terlepas dari yang ada di tempat-tempat lain, baik dulu, sekarang sampai ke masa mendatang. Perdamaian menjadi bagian dari proses kehidupan tersebut. Dalam proses tersebut perdamaian tidak berdiri sendiri. Konflik yang acap kali dinilai sebagai lawan perdamaian sejatinya tidak dapat dilepaskan darinya. Tidak ada perdamaian tanpa 9 konflik, begitu juga sebaliknya. Kesediaan untuk menerima konflik sebagai bagian dari proses kehidupan bersama dengan perdamaian adalah sebuah sikap mengampuni dan merangkul serta merapuh.
Bagi kita yang masih sedang bergumul dengan perdamaian di masa kini, Keller berpesan, "In the face of contemporary crises, process theology offers a vision of a relational God who suffers with us and works within the processes of the world to bring about transformation and healing." (p. 56) Pesan ini patut menggugah kita sebagai gereja yang ingin menjadi agen perdamaian. Gereja bukan berada di luar, tetapi di dalam kehidupan yang berproses itu. Gereja bukan malaikat kebenaran yang mendatangi para pendosa, tetapi manusia yang hidup bersama para pendosa bahkan dalam kerapuhannya juga malakukan apa yang dilakukan para pendosa. Meski berdalih ingin memperbaiki yang rusak, gereja perlu sadar bahwa dirinya juga rusak dan membutuhkan perbaikan. Gereja bukan Tuhan, namun bisa banyak belajar dari Tuhan yang sekalipun tidak berdosa dan maha kuasa namun berkenan untuk membersamai manusia yang berdosa dan mengalami kerapuhan akibat dosa. Tujuannya adalah transformasi, memperbaiki keadaan, memulihkan yang rapuh dan rusak, tetapi secara bersama-sama. Teologi yang selaras dengan maksud itu bukanlah teologi penghakiman, teologi super-hero, atau teologi yang dibangun atas dasar sindrom mesias. Perdamaian adalah masalah mereka yang berada di luar dan di dalam tubuh gereja itu sendiri. Gereja diharapkan ikut memberikan sumbangan bagi masyarakat, namun dia adalah bagian dari masyarakat juga yang memerlukan sumbangan pihak lain. Dalam hubungan dengan masyarakat, gereja selalu berada dalam posisi membentuk dan dibentuk.
Penutup
Di bagian akhir ini, mengingat bahwa saya diminta berbicara di tengah persidangan sinode yang biasanya menjadi wadah untuk menentukan langkah-langkah strategis gereja, perkenankan saya mengusulkan beberapa langkah strategis berikut. Tentu masih agak mentah, maka memerlukan banyak polesan.
Dialog dan rekonsiliasi: memfasilitasi dialog terbuka antara anggota jemaat dan komunitas sekitar yang berbeda latar belakang, termasuk agama, etnis, dan budaya, untuk membangun pemahaman bersama dan rekonsiliasi serta transformasi.
Pengampunan dan pemulihan: mengadakan program-program yang mempromosikan pengampunan dan pemulihan bagi mereka yang terluka atau terpinggirkan, serta menciptakan ruang untuk rekonsiliasi dan pemulihan hubungan.
Pendidikan perdamaian: menyelenggarakan seminar, lokakarya, pelatihan dan kursus tentang teologi perdamaian, kesadaran dan aksi nir kekerasan.
Pengembangan kurikulum: mengintegrasikan pendidikan tentang ekologi, keadilan sosial, dan perdamaian dalam kurikulum sekolah minggu dan pembinaan warga gereja lainnya.
Liturgi perdamaian: mengembangkan liturgi dan praktik ibadah yang mengedepankan tema-tema perdamaian, pengampunan, dan rekonsiliasi.
Retret dan meditasi: menyelenggarakan retret dan meditasi yang bertujuan memperdalam spiritualitas perdamaian dan keterbukaan terhadap karya Roh Kudus dalam menciptakan perdamaian.
Kemitraan lintas agama: membangun kemitraan dengan komunitas agama lain untuk proyek-proyek bersama yang mempromosikan perdamaian dan keadilan sosial serta lingkungan.
Kerjasama dengan organisasi nir laba: berkolaborasi dengan organisasi nir laba (LSM) yang berfokus pada perdamaian dan keadilan sosial dan lingkungan untuk memperluas dampak program gereja.
Sejalan dengan butir terakhir ini, mewakili UKDW yang dimiliki antara lain oleh GKPB, saya menawarkan kerja sama dalam berbagai bidang yang sesuai dengan kompetensi kami (dapat dilihat di: https://www.ukdw.ac.id/) untuk memperluas dan meningkatkan pelayanan GKPB di Bali dan wilayah pelayanan lainnya. Dalam kiprahnya, UKDW membutuhkan kerja sama dengan GKPB, semoga demikian juga GKPB terhadap UKDW
Jumat, 18 Oct 2024 | Oleh: admin sinode