Gaung Pesan Perdamaian Dari Vatikan dan Bali (Refleksi Teologis Atas Terpilihnya Paus Leo XIV Dikaitkan Tema Pelayanan GKPB Menjadi Gereja Pembawa Damai
						
			
				Paus Baru dan Harapan Baru untuk Perdamaian Global dan Gereja
Pemilihan seorang Paus baru senantiasa menjadi peristiwa yang sarat makna, tidak hanya bagi internal Gereja Katolik Roma, tetapi juga bagi lanskap keagamaan global dan dinamika dialog antar-iman. Terpilihnya Paus Leo XIV, yang sebelumnya dikenal sebagai Kardinal Robert Francis Prevost, pada tanggal 8 Mei 2025, menandai dimulainya sebuah babak baru kepemimpinan spiritual yang pesan-pesan awalnya berpotensi meresonansi secara luas di tengah dunia yang merindukan perdamaian. Bagi gereja-gereja di Indonesia, termasuk Gereja Kristen Protestan di Bali (GKPB), peristiwa ini menjadi relevan ketika panggilan bersama untuk mewujudkan perdamaian (shalom) semakin mendesak, terutama dalam konteks masyarakat yang majemuk dan menghadapi berbagai tantangan global kontemporer. Tema perdamaian adalah inti dari Injil dan merupakan panggilan fundamental bagi setiap komunitas Kristen. Oleh karena itu, catatan kecil dan refleksi ini bertujuan untuk menggali bagaimana kepemimpinan dan pesan-pesan awal Paus Leo XIV dapat berdialog secara konstruktif dan memperkaya pemahaman serta praktik GKPB dalam menghayati tema pelayanannya untuk periode 2024-2028, yaitu "Menjadi Gereja Pembawa Damai".
 
Paus Leo XIV lahir di Chicago, Illinois, Amerika Serikat, pada tanggal 14 September 1955. Ia adalah seorang biarawan dari Ordo Santo Agustinus (OSA), dan menjadi Paus pertama dari ordo tersebut. Latar belakang pendidikannya cukup solid, mencakup gelar Bachelor of Science dalam bidang Matematika dari Villanova University, sebuah institusi yang juga berakar pada spiritualitas Augustinian, dan kemudian meraih gelar Doktor dalam Hukum Kanon dari Pontifical College of St. Thomas Aquinas (Angelicum) di Roma.  
 
Figur Paus Leo XIV sendiri menghadirkan sebuah perspektif yang unik. Sebagai seorang warga negara Amerika Serikat yang memiliki pengalaman pastoral mendalam selama bertahun-tahun di Peru, Amerika Latin, ia secara inheren membawa potensi sebagai jembatan. Latar belakang ganda ini bukan sekadar catatan biografis, melainkan dapat dilihat sebagai modal teologis bagi sebuah kepemimpinan yang mampu memahami dinamika kekuasaan global—dimana Amerika Serikat seringkali dipandang sebagai salah satu kutubnya, sekaligus menghayati realitas kemiskinan dan ketidakadilan yang begitu nyata di "Global South". Pengalaman hidup di tengah masyarakat Peru, yang memberinya kewarganegaraan negara tersebut, telah membentuk kepeduliannya yang mendalam terhadap isu-isu sosial dan kedekatannya dengan kaum miskin. Kepemimpinannya berpotensi menantang narasi tradisional "pusat-pinggiran" dalam gereja global, dengan membawa suara dan pengalaman dari "pinggiran" (Peru) ke "pusat" (Vatikan), dan dari sana mempengaruhi gereja secara universal. Hal ini dapat menjadi model inspiratif bagi gereja-gereja seperti GKPB dalam menavigasi identitas lokal mereka seraya mengemban panggilan globalnya.
 
Lebih jauh, adanya kesamaan momentum antara pemilihan Paus baru yang secara eksplisit menekankan perdamaian dalam pidato awalnya dengan tema pelayanan GKPB yang juga berfokus pada perdamaian, dapat dimaknai lebih dari sekadar kebetulan. Ini dapat dilihat sebagai sebuah kairos, sebuah momen signifikan yang di dalamnya Roh Kudus menggerakkan gereja secara universal menuju panggilan yang sama di era yang penuh gejolak ini. Pidato perdana Paus Leo XIV yang sarat dengan pesan damai, seolah menggarisbawahi urgensi panggilan ini. Secara teologis, ini dapat ditafsirkan sebagai dorongan bagi gereja-gereja dari berbagai denominasi untuk berkolaborasi lebih erat dalam mengupayakan perdamaian, sebagai sebuah agenda yang mendesak bagi dunia saat ini. Dalam konteks GKPB, hal tersebut dapat memperkuat validitas dan relevansi tema yang diusung oleh GKPB.
 
Pidato Perdana Paus Leo XIV: Penekanan pada Perdamaian, Dialog, Keadilan, dan Sinodalitas
Pidato perdana Paus Leo XIV, yang disampaikan dari loggia utama Basilika Santo Petrus pada tanggal 8 Mei 2025, menjadi sorotan dunia. Pidato tersebut disampaikan dalam bahasa Italia dan Spanyol, tanpa menggunakan bahasa Inggris. Pilihan bahasa ini mungkin mencerminkan pengalaman misionernya yang panjang dan kedekatannya dengan gereja di Amerika Latin. Beberapa tema kunci yang sangat menonjol dalam pidato tersebut adalah:
 - Perdamaian (Peace). Kata ini menjadi laitmotiv yang dominan. Pidato dimulai dengan salam klasik "Damai besertamu!" (Peace be all of you!) Perdamaian yang dimaksud adalah "damai Kristus yang bangkit," sebuah "damai yang melucuti senjata (pace disarmata e disarmante), rendah hati, dan tekun". Perdamaian ini, tegasnya, berasal dari Allah yang mengasihi semua manusia tanpa syarat.
- Dialog dan Membangun Jembatan. Ia mengajak seluruh umat untuk "membangun jembatan, dengan dialog, dengan perjumpaan, menyatukan kita semua untuk menjadi satu umat yang selalu dalam damai". Gereja, dalam visinya, harus menjadi "Gereja misioner, Gereja yang membangun jembatan, dialog, selalu terbuka untuk menerima" semua orang, seperti Lapangan Santo Petrus dengan lengan-lengannya yang terbuka.
- Keadilan (Justice). Paus Leo XIV menyatakan keinginannya untuk berjalan bersama seluruh Gereja "sebagai Gereja yang bersatu yang selalu mencari perdamaian, keadilan".
- Sinodalitas (Synodality). Secara eksplisit ia mengungkapkan harapan agar "kita menjadi Gereja sinodal, Gereja yang berjalan bersama, yang selalu mencari damai, selalu mencari kasih, selalu berupaya dekat, terutama dengan mereka yang menderita".
- Misioner dan Injili. Terdapat penekanan kuat pada perlunya menjadi "Gereja misioner," yang "setia pada Injil," "memberitakan Kristus," dan melakukannya "tanpa rasa takut".
- Identitas Augustinian. Ia juga mengutip Santo Agustinus, pendiri ordonya, dengan mengatakan, "Bersamamu aku seorang Kristiani, untukmu aku seorang Uskup" (Vobiscum sum Christianus, pro vobis sum episcopus).
Penekanan pada "damai yang melucuti senjata" (
pace disarmata e disarmante) bukanlah sekadar pilihan kata yang puitis. Istilah ini menyiratkan sebuah pendekatan terhadap perdamaian yang bersifat transformatif, yang tidak bergantung pada kekuatan koersif atau dominasi, melainkan pada kerendahan hati, dialog yang tulus, dan kesaksian hidup yang konsisten. Ini adalah sebuah visi perdamaian yang sangat relevan di tengah dunia yang masih diliputi oleh berbagai konflik bersenjata dan polarisasi yang tajam. Perdamaian semacam ini, yang dihubungkan dengan kerendahan hati dan ketekunan, menawarkan alternatif terhadap pendekatan "damai melalui kekuatan" yang seringkali mendominasi wacana politik global. Paus Leo XIV, dengan visinya ini, mungkin akan mendorong diplomasi Vatikan dan gereja-gereja di seluruh dunia untuk mengambil peran mediasi yang lebih berani, yang didasarkan pada kekuatan moral dan spiritual, bukan pada kalkulasi politik kekuasaan.
 
Bagi GKPB, ini bisa menjadi inspirasi untuk memperkuat program-program yang mengedepankan rekonsiliasi, dialog antar-iman, dan pemahaman bersama untuk kesejahteraan umat manusia. Keterkaitan erat yang Paus Leo XIV coba bangun antara sinodalitas, misi, dan kepedulian terhadap mereka yang menderita menunjukkan sebuah visi gereja yang integral dan holistik. Sinodalitas, dalam pemahaman ini, bukanlah tujuan akhir itu sendiri, melainkan sebuah cara, sebuah metode bagi gereja untuk lebih efektif dalam menjalankan misinya dan melayani mereka yang membutuhkan. Pelayanan kepada yang menderita ini, pada gilirannya, adalah wujud nyata dari upaya mewujudkan perdamaian dan keadilan di dunia. Hal ini mendorong GKPB untuk melihat tema "Menjadi Gereja Pembawa Damai" sebagai sebuah proses yang partisipatif yang inklusif.
 
Penggunaan kutipan dari Santo Agustinus, "Bersamamu aku seorang Kristiani, untukmu aku seorang Uskup", menggarisbawahi pemahaman tentang kepemimpinan sebagai pelayanan dan pengakuan akan identitas fundamental sebagai sesama umat Kristiani sebelum menyandang jabatan hierarkis gerejawi. Kutipan ini menekankan kesetaraan dalam iman ("bersamamu aku seorang Kristiani") sebelum berbicara tentang peran khusus dalam kepemimpinan ("untukmu aku seorang Uskup"). Ini adalah ciri khas teologi Augustinian tentang gereja dan kepemimpinan yang menekankan persekutuan. Hal ini dapat menandakan sebuah gaya kepemimpinan yang kolaboratif, rendah hati, dan partisipatif, yang sangat sejalan dengan semangat sinodalitas yang ia usung. Bagi GKPB, ini bisa menjadi pengingat akan pentingnya model kepemimpinan yang melayani dan partisipasi aktif seluruh anggota jemaat dalam upaya bersama mewujudkan perdamaian.
 
Terpilihnya Paus Leo XIV dan Relevansinya Bagi GKPB Sebagai Gereja Pembawa Damai
Terpilihnya Paus Leo XIV dengan pesan-pesan awalnya yang kuat mengenai perdamaian, dialog, dan keadilan sosial, menawarkan sejumlah titik temu yang signifikan dengan spiritualitas dan tema pelayanan GKPB "Menjadi Gereja Pembawa Damai". Refleksi teologis atas persinggungan ini dapat memperkaya pemahaman dan praktik gereja dalam menjalankan panggilannya di tengah dunia.
 
Keselarasan antara penekanan Paus Leo XIV pada "dialog" dan "membangun jembatan" dengan kebutuhan kontekstual GKPB di Bali dan Indonesia yang sangat majemuk menciptakan sebuah peluang besar. Ini bukan hanya tentang kesamaan tema, tetapi tentang penguatan kesaksian Kristen bersama dalam mempromosikan kerukunan dan perdamaian nasional maupun international. Kepemimpinan Paus Leo XIV nampaknya akan memberikan dorongan moral dan teologis bagi gereja-gereja di Indonesia, termasuk GKPB, untuk lebih proaktif dalam menjalin dialog antar-iman dan kerjasama lintas agama demi terwujudnya perdamaian, melampaui sekadar sikap toleransi yang pasif. GKPB, dengan pengalamannya berinteraksi dalam masyarakat Bali yang mayoritas beragama Hindu dan komitmennya untuk membangun keharmonisan dengan masyarakat dan pemerintah, berada dalam posisi yang strategis untuk merespons panggilan ini. Lebih jauh, penekanan bersama pada keadilan sosial sebagai komponen integral dari perdamaian – yang terlihat dari pilihan nama "Leo" oleh Paus dan pengalamannya di Peru, serta perjalanan tematik pelayanan GKPB yang menempatkan "Gereja Pembawa Keadilan" sebelum "Gereja Pembawa Damai" – menunjukkan pemahaman yang mendalam bahwa perdamaian sejati tidak akan pernah tercapai tanpa mengatasi akar masalah ketidakadilan struktural.
 
Ketidakadilan dalam berbagai bentuknya, seperti kemiskinan dan marginalisasi, seringkali menjadi pemicu konflik dan ketidakdamaian. Oleh karena itu, gereja dipanggil untuk tidak hanya berperan sebagai "pemadam kebakaran" ketika konflik sudah terjadi, tetapi juga sebagai agen transformasi sosial yang berani mengadvokasi perubahan sistemik demi terwujudnya keadilan. Ini menjadi sebuah dorongan bagi GKPB untuk terus mengevaluasi dan memperkuat program-program pelayanan sosial dan keadilannya sebagai bagian tak terpisahkan dari upayanya menjadi gereja pembawa damai.
 
Melangkah Bersama Menuju Peradaban Kasih dan Damai
Terpilihnya Paus Leo XIV, dengan penekanan kuatnya pada tema-tema perdamaian, dialog, keadilan, dan sinodalitas, menawarkan sebuah momentum yang penuh harapan bagi gereja-gereja di seluruh dunia. Ini adalah panggilan untuk melihat kembali dan berani terus merevitalisasi komitmen sebagai pembawa damai di tengah zaman yang penuh tantangan. Bagi GKPB, tema pelayanan "Menjadi Gereja Pembawa Damai" menunjukkan adanya kesadaran teologis dan komitmen praksis yang berjalan selaras dengan arah yang diindikasikan oleh kepemimpinan baru di Vatikan.
 
Harapan besar dan semangat baru yang berhembus dari Vatikan ini, yang berakar pada tradisi iman yang panjang namun tetap relevan dengan isu-isu kontemporer, dapat menginspirasi upaya-upaya ekumenis dan antar-iman yang lebih konkret dan berdampak dalam membangun sebuah peradaban kasih dan damai, baik di Bali, Indonesia maupun di kancah global. Keselarasan antara pesan Paus Leo XIV dan tema pelayanan GKPB bukan hanya terletak pada agenda bersama untuk perdamaian, tetapi juga pada metode yang diusung: yaitu "berjalan bersama" – semangat sinodalitas yang digaungkan Paus dan semangat kolaborasi/sinergi yang dikembangkan GKPB – dalam kerendahan hati, keterbukaan, dan kesediaan untuk saling belajar. Ini menandakan pergeseran dari model kepemimpinan atau pelayanan yang cenderung bersifat 
top-down menuju model yang lebih partisipatif, relasional, dan memberdayakan seluruh umat.
 
Tantangan terbesar sekaligus peluang terbesar bagi gereja pada masa kini adalah bagaimana menerjemahkan visi besar perdamaian menjadi aksi-aksi nyata yang melibatkan partisipasi seluruh umat dan berkolaborasi secara erat dengan semua pihak yang berkehendak baik. Harapan terhadap "Peradaban kasih dan damai" adalah sebuah tujuan luhur yang membutuhkan transformasi spiritual individu, pembaruan komunal gereja, dan advokasi untuk perubahan struktural dalam masyarakat. Ini adalah sebuah proyek peradaban jangka panjang yang menuntut ketekunan, iman yang teguh, dan pengharapan yang tak kunjung padam. Semoga GKPB akan semakin efektif menjadi saksi-saksi Kristus yang membawa 
shalom sejati bagi dunia. Catatan kecil dan refleksi ini, pada akhirnya, adalah sebuah ajakan untuk terus berefleksi, berharap, dan berkarya tanpa lelah demi terwujudnya perdamaian, dengan keyakinan bahwa Allah senantiasa turut bekerja di dalam dan melalui setiap upaya tulus umat-Nya.
 
Kapal, 9 Mei 2025 (Pdt. Izak Rio H.B., M.Th)
*Diolah dari berbagai sumber.			
			
				
					Selasa, 13 May 2025 | Oleh: admin sinode