Sinode
GKPB
BLOG
Sinode GKPB
Gereja Kristen Protestan di Bali
Jl. Raya Kapal No 20, Kapal - Mengwi - Mangupura - Bali
Telp: (0361) 4422726 / 4425117 | Email: sinode.gkpb@gmail.com
Refleksi Teologis Hari Anak Nasional 2025 Bagi Pelayanan Anak GKPB “ANAK HEBAT DI MATA TUHAN“

I.     Sebuah Panggilan Kebangsaan, Sebuah Mandat Ilahi
Setiap tanggal 23 Juli, bangsa Indonesia memperingati Hari Anak Nasional (HAN). Peringatan ini, yang berakar dari pengesahan Undang-Undang Kesejahteraan Anak, bukanlah sekadar seremoni tahunan. Ia adalah sebuah momen reflektif yang mendalam, sebuah kesempatan bagi seluruh elemen bangsa untuk menilik kembali dan memperbarui komitmennya terhadap perlindungan dan pemenuhan hak anak-anak, generasi penerus yang akan menentukan masa depan negeri ini. Untuk tahun 2025, momentum ini diperkuat dengan tema yang sarat akan harapan: “Anak Hebat, Indonesia Kuat menuju Indonesia Emas 2045”. Tema ini mencerminkan aspirasi kolektif bangsa untuk membangun sebuah generasi yang unggul, tangguh, dan berdaya saing tinggi sebagai pilar utama menuju satu abad kemerdekaan Indonesia.
 
Bagi gereja, seruan kebangsaan ini bertemu dengan sebuah gema yang lebih tua dan lebih dalam: sebuah mandat Ilahi. Keterlibatan gereja dalam pelayanan anak bukanlah respons musiman terhadap program pemerintah, melainkan denyut jantung dari Injil itu sendiri. Pelayanan kepada anak-anak bukanlah sekadar tugas tambahan atau kegiatan pelengkap di gereja, tetapi ia adalah inti dari misi gereja yang harus diprioritaskan. Panggilan untuk merawat, mendidik, dan melindungi anak adalah sebuah perintah yang berakar kuat dalam Alkitab.
 
Di sinilah kita menemukan sebuah titik temu yang krusial sekaligus sebuah tegangan kreatif. Visi nasional tentang "Anak Hebat" seringkali dipahami dalam kerangka kontribusi dan produktivitas untuk membangun "Indonesia Kuat". Perspektif ini, meskipun penting, cenderung melihat nilai anak dari apa yang dapat mereka capai di masa depan. Iman Kristen menawarkan sebuah fondasi yang lebih fundamental dan membebaskan. Sebelum seorang anak menjadi "hebat" dalam pencapaiannya, ia sudah terlebih dahulu "berharga" di mata Tuhan. Alkitab mengajarkan bahwa setiap anak adalah "pusaka dari TUHAN" (Mazmur 127:3), sebuah anugerah yang nilainya intrinsik karena ia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Imago Dei). Sikap Yesus yang merangkul anak-anak tidak didasarkan pada potensi mereka, melainkan pada status mereka sebagai pribadi yang dikasihi dan layak menerima Kerajaan Allah.
 
Oleh karena itu, refleksi ini mengajak seluruh jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali (GKPB) untuk memegang kedua konsep ini dalam harmoni. Kita dipanggil untuk menjawab visi kebangsaan dengan mendidik anak-anak menjadi "hebat", cerdas, sehat, dan berkarakter; justru karena kita meyakini bahwa mereka sudah tak terhingga "berharga" di hadapan Sang Pencipta. Dari fondasi teologis inilah kita dapat membangun pelayanan yang holistik, relevan, dan transformatif bagi anak-anak di tengah tantangan zaman yang kian kompleks.
 
II.  Landasan Teologis Pelayanan Kita : Anak-Anak dalam Jantung Allah
Untuk memahami kedalaman panggilan gereja terhadap anak, kita harus kembali kepada sumbernya yakni firman Tuhan. Alkitab, dari Perjanjian Lama hingga Perjanjian Baru, secara konsisten menempatkan anak-anak dalam posisi yang istimewa di hadapan Allah.
 
A.    Pusaka dari Tuhan (Perspektif Perjanjian Lama)
Jauh sebelum menjadi fokus kebijakan publik, kesejahteraan anak telah menjadi perhatian utama dalam iman orang Israel. Perjanjian Lama meletakkan dua pilar fundamental bagi pelayanan anak. Pertama, anak adalah anugerah dan warisan dari Tuhan. Mazmur 127:3 menyatakan dengan jelas, “Sesungguhnya, anak-anak lelaki adalah milik pusaka dari pada TUHAN, dan buah kandung adalah suatu upah.”. Ayat ini secara radikal mengubah cara pandang kita. Anak bukanlah properti orang tua yang bisa diperlakukan sekehendak hati, bukan pula sekadar sumber kebahagiaan atau kerepotan keluarga. Mereka adalah titipan berharga dari Allah. Paradigma ini menggeser konsep kepemilikan menjadi penatalayanan (stewardship). Orang tua dan komunitas iman bertindak sebagai wali yang dipercaya Tuhan untuk merawat, membesarkan, dan mendidik pusaka-Nya. Allah mengasihi setiap anak tanpa pandang bulu, dan kehadiran mereka adalah berkat.
 
Kedua, ada perintah ilahi untuk mendidik anak dalam jalan Tuhan. Ini tertuang secara gamblang dalam Ulangan 6:6-9, yang dapat disebut sebagai "Perintah Agung Pendidikan Iman". Musa memerintahkan bangsa Israel: “Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun.” Perintah ini menegaskan bahwa pendidikan iman bukanlah tugas yang bisa didelegasikan sepenuhnya kepada lembaga formal. Ia adalah tanggung jawab utama keluarga, sebuah proses yang harus dilakukan secara intensif ("berulang-ulang"), terus-menerus, dan terintegrasi dalam setiap ritme kehidupan. Rumah adalah sekolah iman yang pertama dan utama, di mana pengenalan akan Allah ditenun dalam percakapan sehari-hari, rutinitas, dan setiap momen kehidupan.
 
B.     "Biarkan Anak-Anak Itu Datang kepada-Ku" (Revolusi Kasih Yesus Kristus)
Sikap Yesus terhadap anak-anak merupakan sebuah revolusi kasih yang mendobrak norma sosial dan bahkan pemahaman para murid-Nya sendiri. Dalam budaya yang seringkali meminggirkan anak-anak, Yesus justru menempatkan mereka di pusat perhatian-Nya. Kisah dalam Matius 19:13-15, Markus 10:13-16, dan Lukas 18:15-17 menjadi titik sentral. Ketika orang-orang membawa anak-anak kecil kepada Yesus, para murid justru memarahi mereka. Para murid, yang mungkin beroperasi dengan logika status dan efisiensi duniawi, menganggap anak-anak sebagai gangguan bagi pelayanan "serius" Guru mereka. Namun, reaksi Yesus sungguh mengejutkan. Injil Markus mencatat bahwa“Ketika Yesus melihat hal itu, Ia marah”. Kemarahan Yesus menunjukkan bahwa tindakan para murid bukanlah kesalahan kecil, melainkan sebuah kekeliruan teologis yang fundamental. Mereka gagal memahami secara utuh Kerajaan Allah dan siapa yang layak menerimanya.
 
Tindakan Yesus selanjutnya menunjukkan sebuah pola pelayanan yang radikal: Ia menyambut, menjamah, memeluk, dan memberkati mereka. Ini bukan sekadar toleransi, melainkan sebuah afirmasi aktif, sebuah demonstrasi kasih, dan sebuah pernyataan prioritas yang jelas. Di tengah kesibukan-Nya, Yesus selalu memiliki waktu untuk anak-anak. Lebih dari itu, Yesus menjadikan anak kecil sebagai teladan iman. Ia berkata, “sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga” (Matius 18:3). Kualitas yang Tuhan hargai bukanlah kekuatan atau pengetahuan, melainkan iman yang tulus, rendah hati, penuh ketergantungan, dan percaya secara murni seperti seorang anak. Puncak dari teologi Yesus tentang anak adalah peringatan-Nya yang paling keras dalam Matius 18:6: “Tetapi barangsiapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil ini yang percaya kepada-Ku, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ia ditenggelamkan ke dalam laut.”. Kata "menyesatkan" (Yunani: skandalizō) berarti menjadi batu sandungan, menjerumuskan, atau menyebabkan seseorang jatuh ke dalam dosa. Peringatan ini adalah mandat ilahi yang tak bisa ditawar untuk melindungi anak-anak dari segala bentuk bahaya dan eksploitasi: baik fisik, emosional, maupun spiritual.
 
Dari sini, kita dapat memahami bahwa cara sebuah gereja memperlakukan anak-anaknya bukanlah sekadar cerminan dari salah satu program pelayanannya. Ia adalah sebuah ujian krusial bagi otentisitas iman dan kesehatan spiritual gereja tersebut. Ketika para murid menghalangi anak-anak, mereka menunjukkan pemahaman yang keliru tentang nilai-nilai Kerajaan Allah. Sebaliknya, Yesus menegaskan bahwa Kerajaan itu justru milik orang-orang seperti mereka. Maka, sebuah gereja yang meminggirkan pelayanan anak, yang menyediakan sumber daya seadanya, atau yang gagal menciptakan ruang aman bagi mereka, pada dasarnya sedang mengulangi kesalahan para murid. Sebaliknya, gereja yang menempatkan anak-anak salah satu sebagai prioritas utama, yang melindungi mereka dengan sungguh-sungguh, dan yang melayani mereka dengan sumber daya terbaiknya, adalah gereja yang telah menangkap jantung Injil dan meneladani hati Kristus.
 
 
III.        Visi Kenegaraan dalam Perspektif Iman : "Anak Hebat, Indonesia Kuat"
Dengan fondasi teologis yang kokoh, gereja dipanggil untuk terlibat dalam wacana kebangsaan. Tema HAN 2025, "Anak Hebat, Indonesia Kuat," adalah sebuah kanvas yang dapat kita isi dengan warna-warni nilai Kerajaan Allah.
 
Gereja harus berani mendefinisikan "Anak Hebat" secara lebih holistik. Hebat bukan hanya tentang prestasi akademis atau kesehatan fisik. Anak yang hebat dalam perspektif iman adalah anak yang bertumbuh utuh: matang secara emosional, berbelas kasih, memiliki karakter luhur yang berlandaskan kasih Kristus, berdaya juang, dan yang terpenting, bertumbuh dalam pengenalan, kasih, dan ketaatan kepada Tuhan Yesus. Filosofi logo HAN 2025 pun dapat kita maknai secara teologis sebagai cerminan panggilan gereja:
1.      Tiga Anak, Termasuk Anak dengan Disabilitas. Ini adalah penegasan visual yang kuat tentang inklusivitas. Bagi gereja, ini adalah panggilan untuk menjadi komunitas yang merangkul setiap anak tanpa terkecuali, meneladani Kristus yang memberi perhatian khusus kepada "yang terkecil" dan yang terpinggirkan. Setiap anak, dengan segala keunikan dan kebutuhannya, adalah ciptaan Allah yang mulia.
2.      Memegang Bendera Merah Putih. Ini adalah simbol nasionalisme. Tugas gereja adalah mengisi semangat nasionalisme ini dengan nilai-nilai luhur Pancasila yang selaras dengan ajaran Kristen: kasih, keadilan, kebenaran, dan kerukunan. Anak-anak dididik untuk menjadi warga negara yang baik karena mereka adalah murid Kristus yang baik.
3.      Garis Abu-abu Dinamis. Logo ini secara jujur melambangkan perubahan zaman dan kompleksitas tantangan dalam pemenuhan hak anak. Ini adalah pengingat bahwa pelayanan gereja tidak boleh statis. Ia harus adaptif, relevan, dan siap menjawab isu-isu kontemporer yang dihadapi anak-anak Indonesia hari ini dan di masa depan.
 
IV.        Panggilan Gereja di Tengah Tantangan Zaman
Menerjemahkan visi menjadi aksi menuntut kita untuk berhadapan dengan realitas. Sub-tema HAN 2025 menyoroti beberapa arena pergumulan utama bagi anak-anak Indonesia. Gereja dipanggil untuk hadir dan berkarya di setiap arena tersebut. Ada 4 tantangan yang coba disoroti pada HAN tahun ini yakni :

1.      Kesehatan & Gizi (Generasi Emas Bebas Stunting)
2.      Perlindungan (Stop Perkawinan Anak & Kekerasan)
3.      Era Digital (Anak Cerdas Digital)
4.      Pendidikan (Pendidikan Inklusif untuk Semua)

Keempat tantangan ini memerlukan elaborasi lebih lanjut. Stunting bukan sekadar masalah medis, melainkan cermin ketidakadilan sosial. Ketika seorang anak gagal mencapai potensi pertumbuhannya karena kekurangan gizi, ini adalah isu keadilan yang harus menjadi perhatian gereja, yang dipanggil untuk memastikan "jiwa yang lapar dikenyangkan-Nya dengan kebaikan" (Mazmur 107:9). Krisis perlindungan yang terjadi di dalam keluarga adalah sebuah alarm darurat. Data yang ada menunjukkan orang tua sebagai pelaku dominan dalam kasus-kasus pengasuhan bermasalah adalah fakta yang memilukan. Jika benteng pertahanan terakhir, yaitu rumah, telah runtuh, maka gereja harus siap menjadi keluarga alternatif yang menyembuhkan, melindungi, dan memulihkan, sebagai perwujudan kasih yang "menutupi segala sesuatu" (1 Korintus 13:7). Paradoks digital menempatkan gereja di persimpangan jalan. Internet adalah pedang bermata dua: sumber pengetahuan tak terbatas sekaligus sarang bahaya seperti pornografi, perundungan, dan eksploitasi seksual. Panggilan gereja bukanlah melarang secara membabi buta, melainkan mendampingi dengan bijaksana. Ini adalah ladang misi baru yang membutuhkan "gembala-gembala digital" yang mampu menuntun anak-anak melewati lanskap digital yang rumit. Terakhir, inklusivitas adalah ujian sejati bagi kasih jemaat. Kehadiran anak berkebutuhan khusus di tengah-tengah kita bukanlah beban, melainkan kesempatan untuk mempraktikkan kasih yang otentik. Apakah kita benar-benar "saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu" (Yohanes 13:34)? Apakah kita siap menjadikan kasih sebagai "pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan" (Kolose 3:14) dengan memastikan tidak ada satu anak pun yang tertinggal?
 
V.           Menjadi Gereja Pembawa Damai bagi Anak-Anak
Seluruh refleksi ini harus bermuara pada aksi nyata. Bagi GKPB, panggilan pelayanan anak terjalin erat dengan tema pelayanan periode 2024-2028: "Menjadi Gereja Pembawa Damai". Membawa damai sejahtera (shalom) bagi anak-anak berarti secara aktif dan terencana menciptakan sebuah ekosistem di mana mereka dapat bertumbuh secara utuh, aman dari bahaya, sehat jasmani dan rohani, merasa dikasihi dan diterima, serta bertumbuh dalam pengenalan akan Kristus Sang Raja Damai.
 
Untuk mewujudkan hal tersebut, ada tiga pilar pelayanan anak yang transformatif yang perlu menjadi fokus bersama bagi seluruh jemaat GKPB.
1.    Memberdayakan Keluarga sebagai Ecclesia Domestica (Gereja Rumah Tangga)
Gereja harus kembali menegaskan dan memperlengkapi keluarga sebagai pusat pendidikan iman (locus theologicus) yang utama. Gereja institusional tidak dapat menggantikan peran orang tua. Oleh karena itu, pelayanan anak yang efektif harus dimulai dengan memberdayakan keluarga.
2.    Mentransformasi Pelayanan Internal Gereja
Pelayanan di dalam tembok gereja harus secara sadar dan terencana ditransformasikan menjadi sebuah "Gereja Ramah Anak". Ini melampaui sekadar memiliki program Sekolah Minggu; ini adalah tentang menciptakan sebuah budaya yang menghargai, melindungi, dan memprioritaskan anak.
3.    Menjadi Suara Kenabian di Ruang Publik
Kasih Kristus tidak boleh berhenti di pintu gereja. Gereja dipanggil untuk menjadi garam dan terang dunia, yang berarti menjadi suara kenabian dan agen perubahan di tengah masyarakat. Pelayanan anak perlu terus meluas hingga ke ranah advokasi publik.
 
VI.        Harapan bagi Generasi Emas dalam Terang Kristus
Visi "Indonesia Emas 2045" adalah sebuah cita-cita kebangsaan yang luhur. Bagi kita sebagai gereja Tuhan, "Generasi Emas" yang sejati adalah generasi yang hatinya terbuat dari emas murni iman kepada Yesus Kristus. Mereka adalah anak-anak yang bertumbuh menjadi pribadi yang tidak hanya hebat di mata dunia, tetapi yang terutama berharga dan berkenan di mata Tuhan. Mereka adalah generasi yang mengenal, mengasihi, dan melayani Kristus dengan segenap hati, jiwa, dan kekuatan mereka.
 
Peringatan Hari Anak Nasional 2025 ini adalah panggilan bagi kita semua di GKPB untuk memperbarui dan memperkuat komitmen kita pada mandat Ilahi ini. Mari kita ingat firman Tuhan Yesus: “...barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku” (Matius 18:5). Setiap kali kita melayani seorang anak, kita sedang melayani Kristus sendiri. Ini adalah investasi terbaik bagi kini dan masa depan gereja dan bangsa. Melindungi, mengasihi, dan membimbing anak-anak dalam terang Kristus adalah hal yang baik, yang harus kita pegang erat-erat sebagai panggilan kita bersama. Selamat Hari Anak Nasional bagi seluruh anak-anak di GKPB, Bali, dan Indonesia.
 
 
 
Sumber Refrensi dan Data :
Antara News. (2025). Pedoman Hari Anak Nasional 2025 Resmi Dirilis, Ini Link dan Agendanya. Diakses dari https://www.antaranews.com/berita/4982745/pedoman-hari-anak-nasional-2025-resmi-dirilis-ini-link-dan-agendanya    
Detik.com. (2025). Peringatan Hari Anak Nasional 2025: Tema, Logo, Filosofi, Sejarah. Diakses dari https://www.detik.com/sumut/berita/d-8021945/peringatan-hari-anak-nasional-2025-tema-logo-filosofi-sejarah    
Komdigi.go.id. (2024). Kemkomdigi dan KPAI Perkuat Kerja Sama untuk Lindungi Anak dari Kejahatan Digital. Diakses dari https://www.komdigi.go.id/berita/siaran-pers/detail/kemkomdigi-dan-kpai-perkuat-kerja-sama-untuk-lindungi-anak-dari-kejahatan-digital  
Dwikoryanto, M. I. T. (2021). Pengajaran Tuhan Yesus tentang Prinsip Melayani Anak Berdasarkan Markus 7:27-28 dan 9:35-42. DIDAKTIKOS. Diakses dari https://www.researchgate.net/publication/366541274_Pengajaran_Tuhan_Yesus_tentang_Prinsip_Melayani_Anak_Berdasarkan_Markus_727-28_dan_935-42  
Madunde, R. R. (2024). Pelayanan Anak dalam Pandangan Yesus Kristus Berdasarkan Matius 18:6. Jurnal Ilmiah Tafsir Alkitab. Diakses dari https://ejurnal.sttiisamarinda.ac.id/index.php/juita/article/download/19/14/477  
Noerachmi, D. S. (2023). Kajian Teologis Ulangan 6:6-9 tentang Pendidikan Anak dalam Keluarga. Geneva - Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen. Diakses dari https://www.sttiaa.ac.id/e-journal/index.php/geneva/article/viewFile/97/77  
Simanjuntak, J. (2024). Fondasi Iman: Pelayanan Anak-Anak Dalam Perspektif Matius 19:13-15. JPAT. Diakses dari https://ifrelresearch.org/index.php/jpat-widyakarya/article/download/3277/3166/13162

 

Oleh :

Pdt. Izak Rio H.B., M.Th – Kabag. Khusus Sekolah Minggu, Remaja, Pemuda GKPB

kamis, 24 Jul 2025 | Oleh: admin sinode