Sinode
GKPB
NEWS
Sinode GKPB
Gereja Kristen Protestan di Bali
Jl. Raya Kapal No 20, Kapal - Mengwi - Mangupura - Bali
Telp: (0361) 4422726 / 4425117 | Email: sinode.gkpb@gmail.com
Workshop SEARO (South East Area Region) 2025

Day 1
Workshop SEARO (South East Area Region) 2025 mengangkat tema : Membangun masyarakat tangguh dalam menghadapi perubahan iklim dengan pertanyaan reflektif, Apa yang akan dilakukan gereja – gereja di Asia Tenggara dan Australia dalam membangun komunitas yang tangguh dalam menghadapi perubahan iklim?
Timor-Leste, Indonesia, dan Filipina berada di peringkat tiga besar negara dengan risiko iklim dan risiko bahaya alam. Secara keseluruhan, kerentanan terhadap bahaya alam, berisiko tinggi terhadap topan, gempa bumi, tsunami, curah hujan lebat, kenaikan permukaan air laut, pergeseran pola curah hujan, dan peningkatan suhu. Perubahan iklim akan berdampak negatif terhadap keanekaragaman hayati, jasa ekosistem, dan pembangunan ekonomi, mengakibatkan meningkatnya risiko terhadap mata pencaharian, pangan, dan keamanan manusia. Perubahan iklim secara tidak proporsional berdampak pada kelompok-kelompok yang rentan dan terpinggirkan secara sosial, yang sering kali tidak memiliki sumber daya untuk merespons dan kurang terwakili dalam kelompok-kelompok pengambil keputusan utama. 

Workshop dimulai dengan Ibadah Pembukaan dan Perjamuan kudus. Dalam kotbah yang disampaikan oleh A. Mofu (Ketua Sinode GKI Papua) menekankan keserakahan yang diperbuat oleh manusia yang menunjukkan perbuatan semena – mena terhadap alam dan lingkungan hidup. Membutuhkan kesadaran dari umat manusia dan gereja – gereja untuk peduli terhadap alam ciptaan Tuhan. Perjamuan kudus dilayani oleh Ketua Sinode GKPB : Bishop. Si Bagus Herman S bersama Pdt. Betha. Setelah kebaktian ditandai dengan pemukulan gong oleh Peter Keegan (pimpinan Uniting World). Dalam sambutan beliau mengatakan bahwa kita semua yang hadir di sini adalah spesial. Kita datang dan mengambil jeda dari pelayanan kita untuk berbagi pengalaman tentang perubahan iklim. 

Menutup kegiatan dihari pertama adalah acara perkenalan dari masing-masing lembaga peserta yang hadir serta diperkenankan mengambil hadiah oleh-oleh dari Tanah Papua, yang dapat dipilih dan diambil sendiri yakni Tas Noken sebagai simbol kehidupan.
 
Day 2
Refleksi tentang Pertemuan UnitingWorld Asia Tenggara di Wisma Kinasih

Pertemuan  UnitingWorld Asia Tenggara di Wisma Kinasih merupakan hari yang kaya akan pembelajaran dan diskusi yang mendalam, dengan fokus pada perubahan iklim. Diskusi ini menggabungkan wawasan ilmiah, refleksi teologis, serta pengalaman nyata dari gereja dan komunitas di Timor Leste dan Indonesia. Sepanjang sesi, terasa adanya kesadaran mendesak untuk bertindak, semangat kolaborasi, serta pengharapan dalam iman saat kita bersama-sama menggumulkan persoalan keadilan iklim.

Ibadah Pembukaan: Belajar dari Kisah Naomi, dilayani oleh Ketua Sinode GMIT, Pdt. Semuel Pandie
Perenungan Rut 1:20-22. Dalam kisah Naomi, kita belajar bahwa perjalanan hidup dapat berubah dari “manis menjadi pahit”, tetapi kasih karunia Allah yang tak terduga dapat memberikan panen kehidupan yang baru. Kisah ini sangat relevan dengan perbincangan kita tentang perubahan iklim, karena banyak komunitas yang mengalami kehancuran lingkungan merasa kehilangan dan putus asa. Namun, sebagaimana kisah Naomi tidak berakhir dalam kepahitan, kita pun diajak untuk mengenali bahwa kasih karunia Allah hadir dalam upaya pemulihan dan transformasi dunia kita saat ini.

Membangun Ketahanan Komunitas dalam Menghadapi Perubahan Iklim
Pembicara: Laura Fontaine, sedi ini membahas Membangun Ketahanan Komunitas dalam Menghadapi Perubahan Iklim. Ia menekankan bahwa saat kita berbicara tentang perubahan iklim, kita harus mempertimbangkan baik dampaknya maupun respon degradasi lingkungan yang lebih luas yang memengaruhi komunitas rentan.

Dilanjutkan dng diskusi kelompok kecil, masing-masing peserta berbagi pengalaman tentang tantangan dan upaya respons di komunitas masing-masing daerah pelayanan. Salah satu tema utama yang muncul adalah bahwa perubahan iklim adalah persoalan keadilan. Komunitas yang paling sedikit berkontribusi terhadap perubahan iklim justru harus menanggung beban paling berat dalam menghadapi dampaknya.

Berbagai gereja dan komunitas di Timor Leste dan Indonesia berbagi bagaimana mereka sudah merespons—melalui upaya adaptasi di tingkat lokal, advokasi, dan refleksi teologis—tetapi mereka juga menekankan perlunya kolaborasi yang lebih kuat dan dukungan yang lebih luas.

Kerangka Teologi tentang Perubahan Iklim, disampaikan oleh Pdt. Apwee Ting

Sesi ini membagikan kerangka teologi tentang perubahan iklim, yang dikembangkan bersama para teolog dari IPTL, GKI TP, GMIT, GPM, GKPB, dan UnitingWorld. Kerangka ini bertujuan untuk merumuskan respons teologis terhadap perubahan iklim dalam konteks Timor Leste dan Indonesia.

Diskusi yang terjadi sangat hidup dan penuh wawasan, dengan berbagai tanggapan dari peserta, baik dalam bentuk apresiasi maupun kritik yang membangun. Para peserta berkontribusi dalam memperkaya kerangka ini, memastikan bahwa refleksi teologis tersebut tetap berakar pada realitas kehidupan komunitas yang terdampak.

Kesadaran Mendesak dan Pengharapan Bersama

Sepanjang hari, kesadaran akan urgensi tindakan sangat terasa. Krisis iklim yang semakin parah menuntut aksi segera dan berkelanjutan, bukan hanya di tingkat kebijakan, tetapi juga dalam komunitas iman. Ada seruan yang jelas untuk bekerja sama secara lebih erat—antara gereja, komunitas ilmiah, dan gerakan masyarakat - untuk memperjuangkan keadilan lingkungan dan mendukung mereka yang paling rentan.

Namun, di tengah tantangan ini, pengharapan tetap menjadi pusat perbincangan kami. Sebagai komunitas iman, kami menegaskan bahwa hikmat dan kekuatan Allah terus menopang kita dalam pekerjaan ini. Meskipun tantangannya besar, kita percaya bahwa Allah memanggil kita untuk menjadi penjaga ciptaan dan berdiri bersama mereka yang paling menderita akibat kehancuran lingkungan.

Kesimpulan: Diskusi yang Mendalam dan Persekutuan yang Hangat

Pertemuan ini tidak hanya diisi dengan diskusi teologis dan praktis yang mendalam, tetapi juga dengan sukacita dalam persekutuan. Sesi-sesi berjalan dengan sangat baik, diskusi kelompok sangat aktif, dan tentu saja, makanan Indonesia yang disajikan luar biasa lezat!

Pertemuan ini semakin meneguhkan pentingnya kolaborasi bekerja bersama lintas wilayah, disiplin ilmu, dan komunitas iman untuk menghadapi realitas perubahan iklim yang semakin mendesak. Ini menjadi pengingat bahwa meskipun tantangannya besar, kita tidak berjalan sendirian—iman, komunitas, serta komitmen bersama terhadap keadilan dan kepedulian terhadap ciptaan akan terus menuntun langkah kita ke depan.

Day 3
Hari ketiga dimulai dengan ibadah pagi yang dipimpin oleh Bapak Pendeta Aprianus Meta Djangga Uma dari Gereja Kristen Sumba (GKS). Bacaan yang diambil dari Yohanes 9:1-5 Merenungkan bagaimana kita dapat menenun sapaan Allah dalam kehidupan sehari-hari. Dalam refleksi ini, tenun Sumba menjadi simbol kuat bagaimana manusia dan alam menyatu dalam karya Tuhan. Proses pewarnaan benang dari akar pohon mengkudu yang memerlukan waktu berbulan-bulan mengajarkan tentang kesabaran dan keterlibatan mendalam antara manusia dengan ciptaan.
 
Janerit Elungan dari Gereja Masehi Injili di Timor (Germita) kemudian mengingatkan peserta akan pembelajaran dari hari sebelumnya, meneguhkan wawasan yang telah diperoleh dan menghubungkannya dengan diskusi yang akan berlangsung hari ini.
 
Sesi utama hari ini dipimpin oleh Laura dengan tema “Climate & GEDSI Analysis” yang menyoroti dampak perubahan iklim terhadap kelompok yang paling rentan. GEDSI (Gender, Equality, Disability, and Social Inclusion) menjadi lensa kritis dalam memahami ketidakadilan sosial yang diperparah oleh perubahan lingkungan dan bencana alam. Sesi ini menekankan pentingnya transformasi kehidupan agar inklusif dan adil bagi semua orang, terutama mereka yang termarjinalisasi.
 
Ibu Debora memperkenalkan konsep-konsep utama dalam GEDSI:
1. Blind – Tidak mempertimbangkan isu GEDSI dalam perencanaan.
2. Neutral – Tidak membahayakan tetapi juga tidak memberikan manfaat bagi kelompok rentan.
3. Targeted – Menyasar kelompok tertentu tetapi belum sepenuhnya menyentuh akar masalah ketidakadilan.
4. Responsive – Merespons kebutuhan kelompok rentan dengan kebijakan atau program yang lebih inklusif.
5. Transformational – Mengubah sistem yang ada untuk menciptakan keadilan sosial yang lebih menyeluruh.
 
Diskusi kelompok dan presentasi yang dipandu oleh Ibu Debora dan Pak Hindra membantu peserta memahami aplikasi konsep ini dalam konteks nyata. Dengan contoh kasus yang relevan, peserta tidak hanya menerima teori tetapi juga terlibat secara aktif dalam merancang solusi yang berbasis komunitas. Suasana diskusi berlangsung hangat, penuh semangat, dan diiringi dengan humor yang membuat pembelajaran semakin menarik dan bermakna.
 
Sesi ini ditutup dengan pemahaman mendalam tentang pentingnya mendengar, melihat, dan merancang ‘project design’ yang sesuai dengan konteks masyarakat yang paling terdampak oleh perubahan iklim.
 
Semoga kita semua terus menjadi bagian dari tenunan kasih dan keadilan Allah di dunia ini.
 

Jumat, 14 Mar 2025 | Oleh: admin sinode