Masyarakat 5.0 dan Gereja Masa Kini: Sebuah Refleksi Membangun Masyarakat Damai di Era Digital
Pendahuluan
Teknologi informasi berkembang begitu cepat dan tidak bisa terbatasi. Kata “digital” merupakan kata yang tidak asing dikalangan masyarakat umum. Di Indonesia sendiri konsep digitalisasi boleh dikatakan sangat dekat dengan masyarakat. Bahkan di kalangan pemerintah pusat dan daerah sudah mencanangkan konsep digitalisasi sebagai salah satu model penyelenggaraan administrasi publik. E-goverment dengan segala macam turunannya merupakan model-model digitalisasi guna memudahkan pelayanan masyarakat.
Sebagai negara pengguna teknologi digital terbesar di dunia, Indonesia merupakan “lahan” manis bagi pasar teknologi digital di dunia. Dengan demikian dampak dan pengaruhnya juga tidak bisa dihindari. Salah satu yang sangat dipengaruhi oleh fenomena digitalisasi adalah Gereja. Hal ini dipicu oleh kondisi pandemik Covid-19 yang telah terjadi selama dua tahun terakhir ini maka realitas bergereja menjadi semakin cair melalui penggunaan teknologi digital. Gereja Online, live streaming, adalah kata-kata seharian yang sangat dekat dengan warga gereja masa kini. Ini munjukan bahwa ada perubahan model dan pelayanan Gereja dari yan tadinya sangat tradisional menjadi lebih high tech dengan semua program-programnya. Bahkan perjamuan kudus yang bagi banyak orang tadinya harus hadir dan datang ke gereja, akhirnya juga dapat menggunakan media live steaming, di mana semua jemaat dapat mengikutinya dengan media anggur dan roti yang tersedia di rumah masing-masing. Tentu ini hanya sedikit dari perubahan-perubahan yang terjadi dalam pelayanan Gereja masa kini.
Dari Imaginasi ke Emaginasi
Imaginasi adalah sebuah cara bagi manusia untuk memahami sesuatu dengan lebih dalam dan luas. Imaginasi dapat membentuk sebuah pemahaman baru yang kemudian dapat dijadikan sebuah landasan teoretik yang dapat di analisis dan dibuktikan. Benedict Anderson ketika menulis bukunya Komunitas Terbayang (Imagine Community) (1991), ketika menjelaskan mengenai pemahamanan tentang nasionalisme, mengulas secara jernih bahwa konsep nasionalisme adalah sebuah imaginasi dari setiap orang yang ada meskipun di antara mereka tidak mengenal satu dengan yang lainnya. Imaginasi mengenai konsep negara kesatuan Indonesia dari Sabang sampai Merauke adalah imaginasi yang dibangun berdasarkan kesamaan rasa dan pandangan sebagai orang yang terjajah dan dieksploitasi hasil buminya. Atas dasar itu maka muncul semangat kebangsaan yang kemudian membangun nasionalisme yang anti terhadap kolonialisme. Lebih tajam lagi Ben Anderson memfokuskan bahwa peran media sebagai kekuatan global telah membangun relasi nasionalisme – kapitalisme (Ben Anderson menyebutnya “kapitalisme cetak”). Berakhirnya penjajahan bukan saja karena peran kekuatan militerisme tetapi salah satunya yang sangat penting adalah kekuatan media (pada saat itu adalah media cetak). Imaginasi mengenai nasionalisme terkuak di daam beragam tulisan di media dan hal itu membangun semangat nasionalisme untuk melawan kolonialisme di negara-negara terjajah. Bangunan-banguna imagnisasi ini pada akhirnya bukan saja memiliki kekuatan di dalam kata-kata tetapi juga memiliki kekutan secara politik.
Satu buku bagus yang ditulis oleh Alberto Romele (2020) yang berjudul “Digital Hermeneutics – Philosophical Investigation in New Media and Technologies” , menguraikan bahwa terjadi pergeseran yang sangat dalam mengenai pemahaman imaginasi dan dampaknya bagi masyarakat. Pada masa yang lalu imaginasi, di mana interpretasi sangat ditentukan oleh keberadaan manusia sebagai subjeknya, tetapi perkembangan zaman dan teknologi yang begitu cepat telah merubah semuanya dan menjadikan mesin-mesin digital sebagai “subjek”. Imaginasi mesin adalah sebuah kata yang muncul untuk merepresentasikan peran media (digital) bukan semata hanya memberikan informasi tetapi juga dapat mempengaruhi nilai-nilai yang ada di sekitarnya. Dengan kata lain imaginasi dalam bingkai hermeneutik yang tadinya bersifat sangat anthropocentric (Dilthenian) telah berubah menjadi sangat cair dan menyasar hampir semua level (Heideggerian) , salah satunya adalah mesin-mesin digital (Romele, 2020, h.83). Dengan kata lain saat ini mesin-mesin digital mempunyai peran yang sangat dalam guna “mengintepretasikan” data, yang oleh Romele (2020, h. 89) disebut sebagai “Imaginative Machine”. Platform-platform E-digital adalah saah satu model yang bisa dianalisis lebih jauh mengenai adanya peran imaginasi mesin yang telah mempengaruhi kehidupan manusia. Dalam sistem pemerintahan Indonesia, contohnya pemerintah daerah di Bali, sangat kental dengan sistem digitalisasi. Persoalannya bukanlah apakah itu bermanfaat atau bukan tetapi yang menjadi penting dalam percakapan yang lebih filosofis dan sosiologis apakah mesin-mesin digital itu dapat memberikan interpretasi terhadap konteks yang ada di sekitarnya atau tidak. Jawabannya YA, mesin-mesin digital ini telah mampu memberikan interpretasi terhadap apa yang ada dalam kontes sekitarya melalui data-data yang ada dan dimasukan sebagai sebuah Big Data, yang hasilnya akan digunakan oleh pemangku-pemangku kebijakan (apakah itu pemerintah, kelompok-kelompok/organisasi swasta, perorangan, dll) untuk merumuskan kebijakan dan pengambilan keputusan. Dengan demikian, meminjam Romele (2020, h. 96), terjadi sebuah pergeseran yang menarik “From Imagination to Emagination”. Kata Emagination ini menjadi titik masuk/inspirasi kita untuk memahami persoalan society 5.0 yang ‘sedang kita hadapi’ saat ini.
Masyarakat 5.0
Konsep masyarakat 5.0 (Society 5.0) sering disebut juga sebagai “A People Centric Super Smart Society”. Secara umum hal ini memberikan pengertian bahwa pusat dari perjalanan “puncak” teknologi di di dunia ini kembali berpusat pada manusia itu pada dirinya sendiri. Hal ini disadari sebagai sebuah catatan kritis terhadap perjalanan teknologi yang sudah semakin hebat dan luar biasa, tetapi justru mengeliminasi peran manusia sebagai “the creator” dari teknologi tersebut. Catatan kritis ini sebenarnya ditujukan kepada konsep industri 4.0 yang berorientasi dan menempatkan mesin-mesin industri (salah satunya adalah mesin digital) sebagai yang utama. Pada bulan November 2011, the German Federal Government mengeluarkan “High-Tech Strategy 2020 Action Plan for Germany”. Ini kemudian dikenal dengan konsep masyarakat industri 4.0.
Mengacu pada pembahasan sebelumnya maka dalam konteks industri 4.0 mesin-mesin industri/mesin digital telah menjelma menjadi mesin imaginasi yang menentukan jalan kehidupan peradaban. Oleh sebab itu, mengabaikan keduanya (mesin dan manusia) adalah kemustahilan dalam era saat ini. Tetapi menempatkan keduanya secara polarisasi juga akan mengalami benturan yang sangat masif, karena akan terjadi dominasi satu terhadap yang lainnya. Oleh sebab itu pada 22 Januari 2016, pemerintah Jepang mengeluarkan “The 5th Science and Technology Basic Plan (Cabinet Office 2016a)” yang menelurkan ide mengenai “Society 5.0” yaitu visi masyarakat masa depan yang dipandu oleh ilmu pengetahuan dan teknologi inovasi.
![]()
Perbandingan Konsep Industri 4.0 dan Masyarakat 5.0
Maksud dibalik konsep ini adalah menggabungkan ruang fisik (dunia nyata) dan cyberspace (dunia maya) dengan pemanfaatan teknologi sepenuhnya, dan mengusulkan bentuk ideal masyarakat ‘'super-pintar' yang akan membawa kesejahteraan bagi semua orang. Konsep inilah yang dikenal dengan Masyarakat 5.0 (Society 5.0). Penamaan Masyarakat 5.0 untuk menunjukkan masyarakat baru yang diciptakan oleh transformasi yang dipimpin oleh inovasi ilmiah dan teknologi, setelah masyarakat pemburu-pengumpul,masyarakat pertanian, masyarakat industri, dan masyarakat informasi” (Hitachi-UTokyo Laboratory, 2020, h.xi - xii).
![]()
Perubahan lingkup sosial kemasyarakatan
Konsep Masyarakat 5.0 sejak awal digaungkan tidaklah semudah yang dibayangkan. Kompleksitas dan tarik menarik bukan saja terjadi di level percakapan teknologinya tetapi juga dalam konteks masyarakat itu sendiri. Masyarakat di sini adalah sebagai individu dan juga komunitas. Jadi, ada beberapa level persoalan yang secara berlapis harus diselesaikan: Persoalan teknologi, konektifitas teknologi dan masyarakat dan juga masyarakat sebagai individu atau komunitas. Ambil contoh, sebuah AC digunakan untuk menyejukan suasana yang ada dalam sebuah ruangan. Pada batas itu tidak menjadi masalah. Menjadi semakin kompleks ketika persoalan AC ini berada pada komunitas tertentu, seberapa pantas angka temperatur untuk semua orang yang ada dalam komunitas di sebuah ruangan? Siapa yang akan menentukan kepantasan angka temperatur bagi semua komunitas? Bagaimana cara mengatasi agar angka itu menjadi tetap stabil setiap waktu di tengah perubahan-perubahan suhu di luar dan di dalam ruangan? Apakah AC yang digunakan ini secara teknologi merupakan jenis yang ramah lingkungan atau tidak (Hitachi-UTokyo Laboratory, 2020, h.4-5).
Dari uraian di atas tampak bahwa dari satu realitas kehidupan yang sederhana (pemasangan AC) relasi teknologi dan kemanusiaan menjadi begitu kompleks. Disinilah hal data itu menjadi sesuatu yang sangat menentukan. Dalam konsep masyarakat 5.0 data adalah sesuatu yang utama. Ruang maya (cyberspace) merupakan dunia “lain” yang dipenuhi dengan data (Big Data) dari dunia nyata, yang kemudian diproses sedemikian rupa secara elektronik dai dalam komputer yang kemudian menghasilkan solusi bagi ruang fisik (dunia nyata). Hasil dari olah data ini kemudian dievaluasi dan dijadikan data baru dalam dunia nyata yang kemudian dikembalikan lagi kepada dunia maya untuk diolah sebagai hasil yang baru bagi dunia nyata. Ini sebagai sebuah siklus yang tidak dapat lagi diputuskan. Memutus rantai atau siklus ini berarti hilangnya sebuah peradaban baru di dunia ini. Artinya bahwa dunia ini (manusia) sudah sangat tergantung kepada mesin-mesin digital/cyberspace/komputerisasi,Internet of Things (IoT) dan kecerdasan buatan (AI) mengambil peran yang sangat besar dalam kehidupan sosial masyarakat. Karena dalam kasus AC tadi IoT memungkinkan beragam dan data yang banyak (dalam hal ini, ukuran ruangan, suhu di berbagai bagian ruangan, penghuni ruangan dan distribusi spasialnya, dll.) untuk dikumpulkan dan diolah secara digital menjadi sebuah data baru bagi kesejahteraan umat manusia. (Hitachi-UTokyo Laboratory, 2020, h.6).
Melihat wacana di atas paling tidak kita bisa menyimpulkan tiga hal penting dalam konteks masyarakat 5.0 yaitu data, informasi dan pengetahuan (data, information and knowledge). Perhatikan diagram di bawah ini:
![]()
Model Input data
Ilustrasi gambar di atas menunjukan perubahan input data di era yang masih konvensional dan di era masyarakat 5.0. Di era yang konvensional data hanya dilihat sebagai sebuah data yang akan menghasilkan informasi bagi masyarakat. Tetapi di era masyarakat 5.0 data diinput dan dianalisis oleh mesin-mesin digital (AI) yang kemudian menghasilkan informasi sekaligus juga pengetahuan berupa input bagi manusia dan industri. Masing-masing elemen dari masyarakat dan industri dapat memasukan data dan kemudian diolah sedemikian rupa oleh mesin-mesin cerdas digital untuk menghasilkan informasi dan pengetahuan baru yang bermanfaat bagi manusia itu sendiri. Pengetahuan baru yang lebih bermakna dan bermanfaat bagi kehidupan manusia dan teknologi ini kemudian menjadi sebuah data baru yang dapat digunakan dan dikembangkan lebih lanjut menjadi semakin lebih baik di masa depan. Pengetahuan ini disebut dengan “Data Driven Society”. Pertanyaannya apakah manusia juag termasuk dalam data tersebut. Jawabannya YA! Data, Informasi dan Pengetahuan adalah tiga hal di mana manusia menjadi bagian di dalamnya, yang oleh Lippold disebut bahwa manusia adalah data itu sendiri (We are Data) (Lippold, 2017).
Bersatunya Imaginasi Maya dengan Realitas: Sebuah Refleksi Membangun Umat / Masyarakat Damai
II Korintus 3:1-6
1 Adakah kami mulai lagi memujikan diri kami? Atau perlukah kami seperti orang-orang lain menunjukkan surat pujian kepada kamu atau dari kamu? 2 Kamu adalah surat pujian kami yang tertulis dalam hati kami dan yang dikenal dan yang dapat dibaca oleh semua orang. 3 Karena telah ternyata, bahwa kamu adalah surat Kristus, yang ditulis oleh pelayanan kami, ditulis bukan dengan tinta, tetapi dengan Roh dari Allah yang hidup, bukan pada loh-loh batu, melainkan pada loh-loh daging, yaitu di dalam hati manusia. 4 Demikianlah besarnya keyakinan kami kepada Allah oleh Kristus. 5 Dengan diri kami sendiri kami tidak sanggup untuk memperhitungkan sesuatu seolah-olah pekerjaan kami sendiri; tidak, kesanggupan kami adalah pekerjaan Allah. 6 Ialah membuat kami juga sanggup menjadi pelayan-pelayan dari suatu perjanjian baru, yang tidak terdiri dari hukum yang tertulis, tetapi dari Roh, sebab hukum yang tertulis mematikan, tetapi Roh menghidupkan.
Relasi Paulus dengan jemaat di Korintus adalah satu relasi yang sangat kuat terbangun. Relasi ini tidak perlu dibuktikan dengan adanya surat atau legalitas administratif yang menegaskan akan keabsahan relasi tersebut. Bagi Paulus “huruf-huruf” adalah mematikan tetapi Roh menghidupkan. Paulus menekankan bahwa jemaat Korintus adalah sebuah surat Kristus yang terbuka yang ditulis bukan dengan tinta, tetapi dengan Roh dari Allah yang hidup, yang ditulis langsung di dalam hati manusia.
Paulus tidak bermaksud anti terhadap tindakan-tindakan administratif yang diperlukan sebagai sebuah syarat-syarat keabsahan (dalam hal ini relasi Paulus dengan jemaat di Korintus) tetapi yang ditekankan oleh Paulus adalah Kejemaatan warga gereja di Korintus adalah sesuatu yang utama. Administrasi memang menjadi penting, tetapi identitas, keberadaan dan nilai-nilai yang ada dalam kehidupan jemaat di Korintus adalah “surat terbuka” yang dapat dilihat oleh banyak orang dan seharusnya menjadi berkat. Paulus mengembalikan nilai-nilai kemanusiaan sebagai kodrat sejati bagi pelayanan dan mengedepankan “Data Driven Society” sebagai basis gerakan pelayanannya, khususnya bagi dan bersama jemaat Korintus. Surat terbuka adalah sebuah imaginasi yang berfokus pada manusia dalam relasinya dengan Kristus dengan mana hal itu telah menghasilkan sebuah gerakan aats nama identitas Kristiani purba sampai era masyarakat 5.0.
Bagi kekristenan masa kini seharusnya konsep masyarakat 5.0 bukanlah sesuatu yang asing, di mana hal itu mengembalikan manusia sebagai citra Allah bersama dengan seluruh ciptaan-Nya guna membawa damai sejahtera, sambil terus berdialog dengan teknologi sebagai realitas maya yang telah menjadi realitas baru dan hidup berdampingan secara harmonis. Harapan ini memungkinkan jika hidup kekristenan kita adalah sebuah data yang terbuka yang senantiasa dapat diperbaharui. Ini adalah realitas hidup kekristenan masa kini. Ruang-ruang imaginasi Misio Dei yang penuh damai menjadi lebih terbuka karena terjadi interaksi kemanusiaan yang lebih hidup melalui dimensi-dimensi digitalisasi (Emaginasi) yang dapat menghasilkan informasi-informasi baru dan terkini dan bermanfaat bagi Gereja.
Beberapa pertanyaan penting:
1. Apakah artinya jika Gereja saat ini, secara khusus GKPB, disebut dengan Surat Kristus dalam menanggapi misi Allah di tengah dunia (di Bali secara khusus) dalam perspektif masyarakat 5.0?
2. Dalam kontkes di Indonesia, percakapan masyarakat 5.0 sering dikritik sebagai “Indonesia belum sampai ke arah sana karena teknologi informasi belum menjadi sarana kesejahtraan manusia”. Betulkah pendapat ini? Bagaimana dengan teknologi informasi/digital yang digunakan oleh Gereja di era saat ini, apakah itu menunjukan kesiapan Gereja memasuki era masyarat 5.0 atau justru ada banyak kegagapan di dalam melakukannya?
Referensi:
Alberto Romele, (2020). Digital Hermeneutics – Philosophical Investigation in New Media and
Technologies, Routledge Taylor and Francis Group, New York and London.
Benedict Anderson, (1991). Imagined Communities, Pustaka Pelajar+Insist Press, Yogyakarta.
Hitachi-UTokyo Laboratory (H-UTokyo Lab.), Society 5.0 - A People-centric Super-smart
Society, Springer Open, Singapore.
John Chenney – Lippold, (2017). We Are Data - Algorithms and the Making of Our Digital Selves,
New York University Press, New York
Senin, 10 Feb 2025 | Oleh: admin sinode