Sinode
GKPB
BLOG
Sinode GKPB
Gereja Kristen Protestan di Bali
Jl. Raya Kapal No 20, Kapal - Mengwi - Mangupura - Bali
Telp: (0361) 4422726 / 4425117 | Email: sinode.gkpb@gmail.com
MENJADI GEREJA PEMBAWA DAMAI

Tema GKPB 2024-2028 adalah: Menjadi Gereja Pembawa Damai. Atau semestinya disebut Menjadi Gereja Pembawa Shalom. Mengapa demikian? Olehkarena Shalom atau Damai Sejahtera itu adalah sebuah keadaan atau kondisi dimana kita semua merasakan kedamaian dan keharmonisan dalam relasi kita dengan sesama manusia dan ciptaan lainya. Hal inilah yang hendak dituju oleh Visi GKPB: BUMI BERSUKACITA DALAM DAMAI SEJAHTERA. Bumi yang dimaksud adalah bukan sebatas manusia dan sesama manusia tetapi menyangkut selutuh entitas yang ada di atas bumi ini.  Karena itu jika dikatakan Bumi Bersukacita Dalam Damai Sejahtera berarti bahwa seluruh entitas yang ada itu hidup dalam keharmonisan, kenyamanan, dan kedamaian yang relasional.
 
Bisakah Gereja Menjadi Pembawa Damai Sejahtera atau Shalom itu? Ini sebuah pertanyaan yang berat. Tetapi persoalannya tidak akan menjadi berhenti ketika dikatakan “tidak bisa”. Sebab tugas Menjadi Gereja Pembawa Damai Sejahtera adalah TUGAS PANGGILAN yang tidak bisa ditawar-tawar. Olehkarena tidak bisa ditawar-tawar, makanya hanya ada satu jawaban “kita harus melakukannya”. Titik!
 
Dalam rentang waktu 20 tahun periode pelayanan di GKPB kita telah menjalani dan melewati 4 kali periodisasi pelayanan yakni: Menjadi Gereja Misioner; Menjadi Gereja Yang Bertumbuh Bersama Masyarakat; Menjadi Gereja Yang Memberkati; Menjadi Gereja Pembawa Keadilan. Kini GKPB menjalani periode terakhir dalam periodisasi ini dengan tema: Menjadi Gereja Pembawa Damai. Alur dari narasi periode 20 tahun pelayanan di GKPB ini muaranya adalah sebuah impian yang amat sangat indah yakni terciptanya Bumi Bersukacita Dalam Damai Sejahtera. Itulah sebabnya tema kelima dari periodisasi ini adalah menjadi Gereja Pembawa Damai (Sejahtera) dengan asa bahwa damai sejahtera atau shalom itu sedang terwujud dalam konteks kehidupan manusia bersama dengan Tuhan, sesamanya serta dengan lingkungannya.
 
Apakah impian relasi yang Damai Sejahtera itu sedang menjadi kenyataan? Menjawab hal ini rupanya tidak semudah membalikan telapak tangan. Bahkan kita dapat mengatakan bahwa kita hanya baru dapat mewujudkan sedikit saja dari tanda-tanda Damai Sejahtera itu. Sebab kita mesti dengan jujur pula mengakui bahwa di satu sisi ketika kita berupaya keras mewujudkan tema-tema yang telah kita lalui dalam hidup pelayanan kita, pada sisi lain kekuatan yang tidak kalah besar seringkali menghadang dan bahkan menghancurkan apa yang telah kita usahakan untuk terwujud. Namun demikian sebagai Gereja milik Kristus kita jangan mudah menyerah. Tugas kita adalah terus dan terus bekerja. Tuhan Yesus mengatakan Kita harus mengerjakan pekerjaan Dia yang mengutus Aku, selama masih siang; akan datang malam, di mana tidak ada seorang pun yang dapat bekerja” (Yoh.9:4). Artinya selagi masih ada waktu dan kesempatan kita mesti mempergunakan itu dengan sebaik-baiknya untuk terus menerus menghadirkan shalom. Kita kerjakan bagian kita dengan tekun dan Tuhan pasti sedang mengerjakan bagian-Nya.
 
Mengapa kita mesti menjadi pembawa damai (sejahtera)? Karena kita telah menerima Damai Sejahtera dari Allah. Kita menerima Damai Sejahtera Allah itu melalui Tuhan Yesus Kristus. Salah satu bukti nyata dan terbesar bahwa kita telah menerima damai sejahtera itu adalah pulihnya relasi kita dengan Allah. Pemulihan ini terjadi karena peristiwa salib yang dijalani oleh Yesus Kristus. Ia memikul tugas berat ini dan bahkan melewati via dolorosa dan mati diatas salib hanya demi manusia berdosa dipulihkan relasinya dengan Allah. Pada peristiwa salib dipuncak Golgota itulah upah dosa itu dibayar lunas – kemarahan Allah dituntaskan (sebab dosa itu harus dibayar tuntas dengan darah). Petrus dalam surat 1 Petrus 1:18-19 mengatakan: “…bahwa kamu telah ditebus dari cara hidupmu yang sia-sia …. bukan dengan barang yang fana, bukan pula dengan perak atau emas, melainkan dengan darah yang mahal, yaitu darah Kristus…”
Dan pada saat yang sama - diatas bukit Golgota itu kasih dan anugerah pengampunan dinyatakan kepada manusia percaya. Artinya pemulihan itu dapat terjadi hanya di dalam dan melalui Tuhan Yesus Kristus. Paulus menegaskan: “Allah, yang dengan perantaraan Kristus, telah mendamaikan kita dengan diri-Nya” (2 Kor. 15:8).
 
Dari pemahaman ini tepat jika Yesaya menubuatkan bahwa Yesus adalah “… Raja Damai” (Yes. 9:5). Kekuatan dan kemampuan kita untuk membayar dosa-dosa tidak dapat tercapai. Hanya dia yang adalah Allah dan Manusia yang dapat melakukan pemulihan itu. Manusia yang mengalami pengampunan dan pemulihan itulah yang sesungguhnya mengalami Damai Sejahtera. Jadi Allah yang pertama-tama menyatakan Damai Sejahtera itu kepada manusia (bdk: Yes. 26: 12). Inilah tahap pertama terjadinya shalom Allah nyata dalam hidup manusia.
 
Pada tahap selanjutnya adalah Gereja diminta untuk meneruskan damai sejahtera itu, dimana semua umat percaya (gereja) dipanggil untuk melanjutkan pengampunan demi terjadinya pemulihan (rekonsiliasi). Dalam hal inilah orang percaya menjadi pembawa damai atau para pendamai (peacemakers) bagi sesama dan lingkungannya.
 
Matius yang hidup di dalam konteks masyarakat Yahudi dibawah penjajah Romawi menyampaikan kepada jemaatnya untuk selalu menjadi pendamai (peacemakers). “Berbahagialah orang yang membawa damai karena mereka akan disebut anak-anak Allah” (Mat.5: 9-TB2). Blessed are the peacemakers: for they shall be called the children of God (NKJV). Dalam terjemahan baik di TB1 maupun TB2 dikatakan: “berbahagialah orang yang membawa damai” yang diterjemahkan dari μακαριοι οι ειρηνοποιοι. Orang yang membawa damai cocok rasanya dengan pembawa damai dalam tema GKPB. Secara harafiah dalam teks aslinya dipahami agak sedikit berbeda yakni sebagai ‘para pendamai’ sehingga cocok dengan terjemahan NKJV: peacemakers. Pertanyaannya: Mengapa TB1 dan TB2 menerjemahkan “orang yang membawa damai?” Rupanya ini terkait soal rasa bahasa. Bahwa orang yang membawa damai juga adalah peacemakers (para pendamai). Dan itu tidaklah keliru.
Olehkarena itu maka istilah “Pembawa Damai (Sejahtera)” dalam tema GKPB dapat dipahami bahwa pada satu sisi kita sebagai penerus Damai Sejahtera yang diterima Allah (sebagai sumber Damai Sejahtera) dan pada sisi yang lain kita sekaligus menjadi para pendamai (peacemakers) ditengah-tengah keadaan yang tidak damai atau dimana sedang terjadi ketidakharmonisan.
 
Para pendamai atau peacemakers adalah orang-orang yang aktif bertindak untuk menghadirkan damai (sejahtera) bagi sesama dan lingkungannya. Membangun damai disini tidak sekadar berarti cinta damai. Cinta damai lebih pada pengertian pasif, tetapi membangun damai adalah merujuk kepada suatu tindakan ‘aktif’ mengusahakan terciptanya damai. Itulah para pendamai (peacemakers).
Hal itu sangat jelas dari kata “Damai” = eirene (Yunani) dan dalam bahasa Ibrani = shalom. Kedua kata tersebut memberi pengertian bahwa damai itu tidak pernah berarti suatu keadaan negative. Damai juga tidak pernah berarti tidak adanya persoalan atau kesulitan. Damai dalam Ibrani selalu berarti segala sesuatu yang membuat dan membawa kebaikan bagi manusia – positif. Kata salam (Arab) yang selalu kita ucapkan memiliki arti yang sama dengan kata shalom – yang berarti kita menginginkan kebaikan bagi sesama/orang yang kita beri salam (W. Barclay).
 
Kata ‘Blessed’ dalamBlessed are the peacemakers..’ (Mat.5:9) oleh W. Barclay diterjemahkan kesukaan-berkat. Maksudnya bahwa orang yang diberkati adalah orang yang berbahagia; orang yang bersukacita. Dan sukacitanya itu bukan hanya karena ia menerima berkat tetapi pada saat yang sama telah menjadi berkat bagi sesama dengan menjadi para pendamai atau pencipta damai (peace-makers). Jadi orang yang selalu berinisiatif membangun damai dan bertindak atau melakukan sesuatu untuk mewujudkan damai bagi kebaikan bersama maka orang itu disebut peacemaker.
 
Tuhan Yesus mengatakan bahwa pembawa damai/para pendamai atau peace-makers itu disebut sebagai anak-anak Allah. Mengapa orang-orang yang membawa damai itu disebut sebagai anak-anak Allah? Karena pekerjaan-pekerjaan Allah adalah menyebabkan damai di atas bumi dan di sorga. Dari semenjak awal dunia ini diciptakan Allah melakukan pekerjaan-pekerjaan yang menentramkan, mengharmonikan atau mendamaikan. Ketika proses penciptaan dalam Kejadian 1, Allah menaklukkan dan menentramkan situasi chaos menjadi harmony tertata dan damai. Itulah ciptaan. Bumi belum berbentuk dan kosong dan samudera raya bergelora adalah simbol-simbol chaos yang kemudian ditertibkan oleh Allah menjadi ciptaan yang sungguh amat baik dan indah. Jadi Allah-lah sumber damai (sejahtera) itu. Anak-anak Allah (children of God) adalah orang-orang yang melakukan pekerjaan Allah di dalam hidupnya yakni membangun relasi, membangun perdamaian, menumbangkan permusuhan, menghilangkan kesusuahan dan kesengsaraan hidup, menjembatani pertentangan, menyembuhan pertentangan, memaniskan kepahitan dst..
Semuanya itu cocok dengan doa dari Franciscus dari Asisi yang mengatakan:
            Ya Tuhan, jadikanlah alat damai sejahtera-Mu
            Supaya aku mengasihi, dimana ada kebencian
Memaafkan, dimana ada saling menghina
Mempersatukan, dimana ada pertentangan
Menimbulkan pengharapan, dimana terdapat ketidakpastian
Menyatakan terang, dimana kegelapan berkuasa
Membawa kegembiraan, dimana kesedihan mencekam…
 
Dimana semua itu terjadi? Bisa di keluarga, dalam kehidupan bertetangga, di gereja, di tempat kerja, di masyarakat dan dimana saja. Doa Franciscus diatas adalah panggilan kita… panggilan to be peacemakers. Kiranya ini akan membuka mata kita semua.
 
Begitu berat dan mulianya seorang peacemaker… karenanya dapatlah dipahami apa yang dikatakan Tuhan Yesus: Berbahagialah  orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah – Blessed are the peacemakers, for they shall be called the children of God.
 
Bagaimana dengan kita? Apakah kita sedang menjadi peacemakers sehingga patut disebut sebagai anak-anak Allah?
(Pdt. Eddy Cahyana, M.Th)

Jumat, 31 Jan 2025 | Oleh: admin sinode